Rabu, 23 Maret 2011

Saat Nya Pesantren Menentukan Jenis Kelamin Nya

"Al 'ilmu katsir wal 'umru qoshir, fa khudz minal 'imi ma tahtaju ilaihi fi amri dinika" (Ilmu itu banyak dan umur itu sedikit, maka ambillah dari ilmu apa yang kamu butuhkan dalam urusan agama mu)  .Salman Alfarisi -rodliyallahu 'anhu- . Demikian lah pesan salah seorang sahabat nabi yang sangat cerdas ini, kata mutiara ini dulu di jadikan "tag line" oleh  almaghfur lah KH.M.Nazhif Zuhri Lc. pengasuh pesantren Salaf Girikusuma. Seperti kata "yamaha semakin di depan" yang di jadikan tag line oleh icon merk  salah satu produk sepeda motor Komeng. Penyebutan sebuah iklan ini bukan bermaksud apa-apa cuma sekedar untuk memudahkan ingatan kita saja tentang penting nya sebuah tag line.Bahkan dalam setiap kesempatan Mbah Nazhif tidak bosan-bosan nya untuk berpesan agar selalu memperhatikan di manakah pesantren harus memprioritaskan garis kebijakan dan khittah nya. Baik dalam forum resmi seperti khutbah iftitah dan khutbah ikhtitam. ataupun dalam forum pengajian di depan santri-santri nya, pesan Sahabat ini selalu di sampaikan dengan berbagai alasan dan argumentasi  nya.

Peringatan dari Sahabat yang cerdas ini penting untuk kita jadikan bahan diskusi, karena dari sinilah kita bisa berbagi ilmu pengetahuan untuk mencari kesimpulan yang tepat dalam menentukan bagaimanakan seharus nya pondok pesantren bersikap. karena sekarang ini pesantren sebagai lembaga pendidikan seakan gamang, dan susah untuk mementukan apakah jenis kelamin nya?... Apakah pesantren harus menjadi seperti sebuah toserba yang menyediakan segala nya, sehingga akhir nya menyelenggarakan segala macam jenis lembaga pendidikan dari yang tradisional dan murni agama, sampai yang sekuler yang hanya mengajarkan ilmu keduniaan dan mengajarkan tentang skill saja. Atau pesantren harus membatasi diri dan tetap konsisten untuk menjadi lembaga tafaqquh fiddin semata?..

Ada banyak hal yang perlu di pertimbangkan oleh pengasuh sebuah pesantren dalam menentukan hal ini, ketika harus menjadi seperti toserba maka pesantren harus bisa menjadi benar-benar profesional dan tidak hanya latah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pasar saja, tapi kesiapan penyelenggara pendidikan pesantren yang berjenis kelamin "umum" ini benar-benar harus siap dengan segala konsekwensi nya, namun kenyataan nya masih banyak pesantren yang gagap dengan hal ini, karena kalangan mereka tidak memiliki tenaga yang profesional yang bisa menyelenggarakan pendidikan jenis ini, akhir nya mereka merekrut tenaga pengajar yang tidak berlatar belakang pesantren yang tidak mengerti bagaimanakah seharus nya pola hidup dan tradisi pesantren, dan akhir nya lambat laun jati diri pesantren hilang dan terkikis sedikit demi sedikit karena tidak ada contoh dan panutan dari figur guru-guru nya. inilah masalah yang di hadapi oleh kebanyakan pesantren yang bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan yang umum. Jadi seakan tidak ada bedanya antara pesantren dan madrasah lain nya yang di selenggarakan oleh masyarakat secara swadaya.

Oleh sebab itu di butuhkan langakah koreksi diri, karena hal ini sudah sering di keluhkan oleh orang tua santri yang sudah terlanjur berharap banyak pada kemampuan pesantren, namun kebanyakan dari mereka merasa kecewa karena ternyata hasil nya tidak seperti yang mereka harapkan semula, ini bukan berarti keputusan yang di ambil salah, namun harus segera di cari solusi nya.Jangan sampai nanti orang tua santri berkesimpulan bahwa pesantren sama saja dengan sekolah umum yang secara itung-itungan nya bisa jadi biaya nya lebih murah di banding biaya hidup di pesantren. Dan akhir nya mereka meninggalkan pesantren karena kecewa.Terlepas dari kharisma Kiai pengasuh pesantren. Kualitas lulusan menjadi kata kunci yang perlu di perhatikan di sini.

Kalau pesantren tidak siap secara profesionaldalam mengelola pendidikan yang mandiri dan berkualitas baik dari segi infrastruktur dan tenaga pendidik nya namunmenjual dan hanya mengandalkan kharisma tokoh semata, maka sebaik nya pesantren istiqomah untuk bertahan dalam khittah nya sebagai lembaga tafaqquh fiddin. Mungkin ini terkesan terlalu idealis dan eksklusif, namun dengan begini maka pesantren hanya bertanggung jawab pada proporsi nya saja. Ibarat pepatah "wong legan golek momongan" seandai nya pesantren tidak mampu menjalankan tugas tambahan yang di emban oleh nya, karena membuka pendidikan umum yang tidak sepantas nya di lakukan nya.

Konsistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, menjadi sangat terhormat di mata ummat, seandai nya di jalankan secara baik, arti nya mampu menelurkan santri yang mumpuni dalam hal ilmu agama nya,baca kitab kuning nya, dan akhlaq nya. Misi ini sangat penting untuk di prioritaskan karena di tengah mayoritas masyarakat yang sudah tidak peduli pada kelestarian ilmu agama, maka harus ada pihak-pihak yang menjadi inisiator untuk selalu menjaga kelangsungan ilmu agama, karena kelangsungan sebuah ajaran hanya bisa di tempuh dengan mengajarkan nya dari satu generasi ke generasi berikut nya secara konstan dan konsisten. Jadi bisa kita simpulkan bahwa menentukan jenis kelamin pesantren sebagai lembaga tafaaquh fiddin menjadi sangat terhormat sekali.

Memang bisa lebih baik kalau pesantren bisa menyediakan aneka macam jenis pendidikan dari ilmu agama, sampai ilmu sekuler, seperti sebuah universitas, namun lagi-lagi masalah nya tenaga pendidik nya masih belum mampu di siap kan oleh pesantren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar