Salah satu unen-unen atau tetembungan yang sangat di pegang teguh oleh orang Jawa ialah:"Bener neng ora pener", yang dimaksud dari tetembungan ini ialah bahwa segala sesuatu yang di anggap benar atau kebenaran itu tidak selama nya tepat kalau tidak di sampaikan dengan cara yang tepat, dan melihat situasi dan kondisi yang melingkupi nya.Misal nya saat kita mau menegur seseorang yang melakukan kesalahan, maka sudah di anggap "bener", kalau kita tegur dia,neng ora pener kalau hal itu di sampaikan di depan orang banyak dan halayak ramai umpama nya, sehingga menimbulkan rasa malu atau wirang pada orang yang di tegur.
Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari kita diharapkan bisa angon mongso arti nya, kita di harapkan agar selalu bisa menyesuaikan diri dalam lingkup ruang dan waktu, dan bisa tau diri, karena masyarakat yang di hadapi itu bentuk nya bermacam-macam, baik tradisi, budaya, gaya, dan tata sosial nya. Dalam istilah jawa nya ialah "Seje uwong seje omong, seje kulit seje anggit" (Beda orang beda ucapan,beda kulit beda pikiran nya).
Cara-cara seperti ini tidak hanya di gunakan dalam kehidupan keseharian saja, namun dalam hal kegiatan dakwah pun orang Jawa lebih suka selalu melihat situasi dan kondisi, sebagaimana dulu yang telah di praktekkan Walisongo, dan para leluhur pejuang Islam di tanah Jawa.Tidak berarti mentang-mentang yang di kenalkan adalah "agama kebenaran" yaitu ISLAM kemudian mereka (Walisongo) kemudian menggunakan cara-cara yang radikal, melawan arus, dan kontroversial. Dalam pandangan orang Jawa hal ini di gambarkan dengan unen-unen: "Ketok nangeng ojo nyolok" (Kelihatan tapi jangan mencolok) artinya apapun perbuatan kita boleh kelihatan seperti dakwah dan lain-lain, namun harus tau diri jangan terlalu berlebihan melawan arus, dan kontroversi.
Dalam berdakwah, Walisongo dulu selalu menggunakan media dakwah yang sudah familier di telinga orang Jawa, seperti Wayang, Lelagon, Gamelan dan lain-lain.Bahkan dalam hal pembangunan Masjid sebagai sarana Ibadah yang sangat sakral sekalipun Walisongo tetap melihat tradisi dan kepercayaan lokal untuk di adaptasi dan di adopsi sebagai bagian dari desain konstruksi dan arsitektur nya dan kemudia di kawinkan dengan bentuk arsitektur khas timur tengah. Hal ini bisa kita lihat di beberapa masjid peninggalan Walisongo seperti di Demak,Kudus,Muria,Cirebon, dan beberapa daerah di Jawa timur.seperti Ampel dan lain-lain.
Rasa nya akan sangat sulit di terima apabila gerakan Islam di Indonesia pada saat itu di lakukan dengan gerakan yang radikal,kontroversial, dan emosional, dan dengan cara yang tidak menghargai tradisi lokal bahkan mengancam eksistensi nya. Mudah di terima nya "Islam" sebagai ajaran baru oleh masyarakat Jawa karena kemampuan Wali songo untuk menggunakan cara yang Pener dalam mendakwahkan hal yang bener.
Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari kita diharapkan bisa angon mongso arti nya, kita di harapkan agar selalu bisa menyesuaikan diri dalam lingkup ruang dan waktu, dan bisa tau diri, karena masyarakat yang di hadapi itu bentuk nya bermacam-macam, baik tradisi, budaya, gaya, dan tata sosial nya. Dalam istilah jawa nya ialah "Seje uwong seje omong, seje kulit seje anggit" (Beda orang beda ucapan,beda kulit beda pikiran nya).
Cara-cara seperti ini tidak hanya di gunakan dalam kehidupan keseharian saja, namun dalam hal kegiatan dakwah pun orang Jawa lebih suka selalu melihat situasi dan kondisi, sebagaimana dulu yang telah di praktekkan Walisongo, dan para leluhur pejuang Islam di tanah Jawa.Tidak berarti mentang-mentang yang di kenalkan adalah "agama kebenaran" yaitu ISLAM kemudian mereka (Walisongo) kemudian menggunakan cara-cara yang radikal, melawan arus, dan kontroversial. Dalam pandangan orang Jawa hal ini di gambarkan dengan unen-unen: "Ketok nangeng ojo nyolok" (Kelihatan tapi jangan mencolok) artinya apapun perbuatan kita boleh kelihatan seperti dakwah dan lain-lain, namun harus tau diri jangan terlalu berlebihan melawan arus, dan kontroversi.
Dalam berdakwah, Walisongo dulu selalu menggunakan media dakwah yang sudah familier di telinga orang Jawa, seperti Wayang, Lelagon, Gamelan dan lain-lain.Bahkan dalam hal pembangunan Masjid sebagai sarana Ibadah yang sangat sakral sekalipun Walisongo tetap melihat tradisi dan kepercayaan lokal untuk di adaptasi dan di adopsi sebagai bagian dari desain konstruksi dan arsitektur nya dan kemudia di kawinkan dengan bentuk arsitektur khas timur tengah. Hal ini bisa kita lihat di beberapa masjid peninggalan Walisongo seperti di Demak,Kudus,Muria,Cirebon, dan beberapa daerah di Jawa timur.seperti Ampel dan lain-lain.
Rasa nya akan sangat sulit di terima apabila gerakan Islam di Indonesia pada saat itu di lakukan dengan gerakan yang radikal,kontroversial, dan emosional, dan dengan cara yang tidak menghargai tradisi lokal bahkan mengancam eksistensi nya. Mudah di terima nya "Islam" sebagai ajaran baru oleh masyarakat Jawa karena kemampuan Wali songo untuk menggunakan cara yang Pener dalam mendakwahkan hal yang bener.
luar biasa tulisannya bagus sekali pak, terimakasih ilmunya
BalasHapus