Sabtu, 04 Juni 2011

Mengetuk Pintu Cinta Kasih Dari Langit

Setiap anak manusia sejak terlahir di dunia, sudah terbimbing dengan cinta kasih, bahkan proses menuju terciptanyapun di awali dengan cinta kasih dari kedua orang tua nya.Berawal dari cinta kasih yang di padukan oleh kedua orang tua kita lah kita bisa terlahir di dunia. begitu juga sejak dalam kandungan kita sudah di boyong kesana kemari oleh ibunda kita ke sana kemari penuh rasa cinta,hal ini tersirat dari nama tempat kita yang ada di dalam tubuh ibu kita adalah "rahim" yang memiliki makan arti cinta kasih juga, selanjut nya saat kita terlahir dari rahim ibu ke dunia fana ini, maka pertaruhan nyawa dari ibunda itu juga di iringi rasa cinta, selanjut nya dalam membimbing dan membesarkan kita, maka kita selalu di beri asupan asi cinta sang bunda.

Dari sejak dalam kandungan, di lahirkan,di besarkan, dan masuk fase dewasa sampai tutup usia, manusia sebenar nya selalu di bekali bagaimana mencinta kasih terhadap sesama.Baik cinta yang di sertai nafsu pada lawan jenis, cinta yang di sertai ta'zhim pada orang tua, guru dan para pengasuh kita, dan cinta yang di sertai kesenangan pada barang dan segala hobi kita, semua nya bermuara pada cinta kasih pada Sang Maha Pencinta dan Sang Maha Pengasih pada makhluq nya.Mata rantai cinta yang kita jalin pada siapa dan apapun hakekat nya bertali temali dan bersambung sinambung dari kita, orang di sekeliling kita, orang di sekitar kita, sampai pada Manusia suci yang menjadi contoh para Pencinta Nabi kita Muhammad saw. dan yang terakhir bermuara pada samudra cinta yang di miliki oleh Yang Maha Pencinta.

Betapa luas samudra cinta yang di miliki oleh Allah, rasa nya tidak akan bertepi, namun untuk mengunduh nya agar tercurahkan kepada kita, maka hanya ada satu cara, yaitu menaburkan benih cinta kasih di antara sesama, sebagaimana sabda Nabi Agung Muhammad saw. :"Irhamu man fil ardli yarhamkum man fi assama' " (Cinta kasihlah pada yang siapa saja yang ada di bumi, maka pasti mencinta kasih pada kalian Dzat yang ada di langit).  Cinta kasih nya penduduk langit akan tercurahkan pada kita penduduk bumi apa bila kita saling berbagi cinta dan berbagi kasih. Cinta kasih yang di tebarkan yang tanpa pandang bulu, ras, suku, warna kulit, dan bangsa. Cinta kasih yang akan kita unduh adalah cinta kasih yang tak berbatas dan bertepi, maka virus cinta kasih yang kita tebarkan pun juga harus tak bertepi.

Jadikanlah seluruh cinta kasih kita sebagai sarana untuk menuju cinta kasih yang sejati pada Yang Maha mencintai, selama dalam hati kita masih ada kebencian pada sesama makhluq hidup maka jangan harap di limpahi cinta kasih Nya. Begitu juga perbuatan kita, marilah kita rangkai menjadi sebuah rangkaian indah perbuatan yang menciptakan sebuah harmoni hidup, karena kasih sayang adalah sebagai manifestasi dari Iman, dari sekian banyak cabang iman, semua nya berimplikasikan pada terwujud nya kasih cinta di antara umat manusia. Bahkan Rasul pun menklaim bahwa menyingkirkan duri penghalang dari jalanan itu adalah adl'aful iman (selemah-lemah nya iman). Perbuatan menyingkirkan duri dari jalanan yang kita lakukan itu tidak akan terwujud apa bila di dalam hati kita tidak di gerakkan oleh rasa cinta kasih pada sesama yang kita tidak akan rela bila tertusuk duri jalanan. Rasa cinta kasih itu juga tidak akan tergerak bila dalam hati kita tidak ada iman.

Dalam akhir tulisan singkat ini akan kami tutup dengan sebuah ungkapan indah dari pemilik RUMAH CINTA (KH.Amin Budi harjono) dalam sebuah form pengajian di ndalem KH.Arifin Junaidi (ARJUNA) Pada hari Jumat (2-Juni-2011) sebagai berikut:"Kalau dalam dadamu hanya ada rasa ingin melayani maka itulah sebenar-benar nya cinta, namun kalau dalam dadamu yang  ada adalah  rasa ingin di layani, maka itu bukan lah cinta namun penguasa"  Pencinta sejati adalah yang siap melayani, bukan di layani, maka dendangkanlah lagu cinta dengan rasa, dan kesiap siagaan untuk menghamba pada yang Maha Pencinta. 

"Ya Tawwab tub 'alaina      #    Ya Tawwab tub 'alaina
Warhamna wanzhur ilaina  #   Warhamna wanzhur ilaina

Mencintai Keluarga Nabi Tak Berarti Syi'ah

Suatu saat ketika saya sowan ke ndalem Habib Muhdlor Assegaf -rohimahullah-  dan saat di persilahkan untuk masuk ke ruang tamu ,saya mencium tangan beliau, tidak lupa saya mempratekkan sebuah cara mencium tangan yang di ajarkan oleh Guru saya KHM.Nazhif Zuhri Girikusumo -rahimahullah-  yaitu dengan cara mencium bagian luar dan dalam telapak tangan beliau. Ini saya lakukan sebagai bentuk ta'zhim dan tabarrukan kepada dzurriyyah Kanjeng Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam. Melihat kejadian itu ada seorang teman protes pada apa yang saya lakukan tadi, karena menurut nya  apa yang saya lakukan  di anggap terlalu berlebihan dalam bersikap dan terlalu mundhuk-mundhuk dengan sesama manusia. Namun saat di tegur oleh teman saya ini aku hanya tersenyum simpul.Bagi saya tawadlu' itu tidak pernah ada istilah berlebihan nya.

Ada lagi teman yang mengklaim sikap tawadlu' saya terhadap Keturunan Kanjeng Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagai prilaku pengikut Syi'ah, saat di ingatkan begitu, aku makin tidak perduli, mau di bilang keterlaluan, atau mau di cap sebagai Syi'ah, bagi saya hormat pada sesama manusia, apa lagi pada orang yang shaleh,kiai, dan orang alim  terlebih pada dzurriyyah Nabi adalah perbuatan baik, bukankah Tuhan sendiri telah memerintahkan agar kita berandap asor kepada sesasma manusia. Begitu pikir saya.

Dalam hal mencintai dan menghormati keluarga Nabi, ada sebuah syair yang di tulis oleh Mufassir besar Azzamakhsyari tentang hal ini, dan patut untuk di kutip dalam tulisan ini:
Katsura syakku wal ikhtilafu # Yadda'i annahu asshiratu ssawiyyu
Fa tamassaktu bi lailaha illallahu # Wa hubbi li Ahmada wa Ali
Faza kalbun bi hubbiAshabilkahfi # Fa kaifa asyqa bi hubbi alinnabi

(Banyak sekali keraguan dan pertentangan #Masing-masing merasa di jalan yang benar
Aku berpegang pada kalimat Lailaha illa Allah # Dan kecintaan ku kepada Ahmad dan Ali
Berbahagia anjing karena mencintai ashabulkahfi # Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai Keluarga Nabi)

Di samping itu kalau kita mau melihat berbagai kitab peninggalan para Muallif (penulis) terdahulu, ternyata dari kalangan Sunni juga banyak yang menulis tentang keutamaan mencintai keluarga Nabi, misal nya Annasa'i, suatu saat Annasa'i membawa kitab tebal ke Damaskus yang menceritakan tentang keutamaan Imam Ali, Kitab itu judul nya "Al khasha'is". Ketika orang -orang ribut dan bertanya kepada beliau:"Kenapa tidak menyusun sebuah buku tentang keutamaan Abu bakan dan Umar?" lalu di ceritakan, kata Annnasa'i :"Aku masuk ke Damaskus, dan aku temukan banyak orang yang menyimpang dan membenci Imam Ali, untuk itulah aku terbitkan buku ini".

Begitu juga Alhakim annaisyaburi seorang ulama ahli hadits, beliau banyak meriwayatkan hadits  yang di tinggalkan oleh Bukhari, padahal hadits itu telah memenuhi kriteria sanad dan matan yang telah di standarkan oleh Bukhari,namun tidak di masukkan dalam kitab Shahih nya (Shahih Bukhari). Hadits- hadits ini di kumpulkan oleh Alhakim dalam kitab nya yang dia beri nama:"Mustadrak shahihain" (pelengkap untuk Bukhari Muslim).Diantara hadits-hadits yang di tulis di sini ialah yang berisi tentang keutamaan Ahlulbait, Namun ketika Alhakim menulis Hadits-hadits ini beliau di curigai juga sebagai Syi'ah. Pada hal apa yang telah beliau lakukan justru malah melengkapi warisan Nabi yang tidak di muat oleh Bukhari Muslim dalm kitab nya.

Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk tidak menghormati dan mencintai Keluarga kanjeng Nabi, semoga cinta kita kepada mereka menjadi wasilah cinta kita kepada Kanjeng Nabi shallahu 'alaihi wasallam. amin.

Rejeban Dan Ruwahan (Tradisi Islam Nusantara)

Memasuki bulan Rajab dan Sya'ban dalam tahun Hijriyyah, di dalam tradisi Muslimin Nusantara ada banyak sekali cara untuk menyemarakkan (syiar) nya.Dari cara yang bersifat praktek ritual seperti Selametan tolak balak, puasa sunnah, dan berbagai ritual keagamaan yang menjadi ciri khas bulan Rajab dan Sya'ban. Ada juga berbagai cara yang di lakukan oleh umat Islam Nusantara untuk menyemarakkan syiar bulan Rajab dan Sya'ban tapi tidak bersifat ritual keagaan, hanya bersifat tradisi yang di adopsi dari kearifan lokal dan kemudia di adopsi oleh tokoh Islam setempat untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari "Adat istiadat" umat Islam setempat.

Sebagai contoh di daerah Jepara, untuk meyemarakkan malam Baro'atan (Beratan) di daerah sekitar Kecamatan Kalinyamatan dan Kecamatan Pecangaan, ada tradisi unik yaitu membuat lampion dan berbagai kreasi mobil-mobilan yang terbuat dari kerangka bambu dan di lapisi kertas minyak transparan, agar bisa tembus cahaya saat di nyalakan lilin di dalam nya di malam hari, kemudian anak-anak kecil dan muda- mudi pawai keliling kampung untuk ikut memeriahkan malam beratan ini, seru dan menyenangkan. Ada juga contoh di daerah Tegalsambi masih di Kabupaten Jepara, juga ada acara adat berupa obong-obongan, kegiatan ini menjadi tradisi turun temurun yang menandai syiar nya bulan Ruwah.

Meskipun akhir-akhir ini sebagian dari kalangan Muslim puritan sedang getol melabeli berbagai kegiatan Khas Muslimin Nusantara dengan label "sesat" ,"Bid'ah" dan "Tidak islami", terlepas dari apakah semua cara yang di lakukan oleh kalangan Muslimin tradisional itu islami atau tidak?, namun bagi kami ada hal penting yang bisa kita garis bawahi untuk kita jadikan sebagai tauladan di saat ini, yaitu kemampuan beradaptasi dengan tradisi lokal masing-masing yang di lakukan oleh para tokoh agama di saat itu, perlawanan terhadap kearifan lokal adalah bentuk perlawanan yang justru akan menimbulkan penolakan kepada ajaran Islam dari masyarakat lokal itu, hal ini di sadari betul oleh para pendahulu kita. Kemudian di berbagai pesantren yang melaksanakan kegiatan tashawwuf juga ada kegiatan puasa sepuluh hari yang di laksanakan oleh para jamaah nya di sepuluh hari pertama di bulan Rajab, seperti di Pesantren Girikusumo, dll.

Memang aneka kegiatan tradisional yang di lakukan di bulan Rajab dan Sya'ban ini kalau di lihat secara sepintas tidak ada contoh konkret nya dari Kanjeng Nabi Muhammad saw. Namun justru di sinilah letak istimewa nya para kiai dulu.Mereka berani berijtihad untuk menjaga harmonisasi dengan tradisi lokal karena menurut mereka toh itu semua tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Justru hal ini malah menjadi jalan masuk untuk bisa di terima sebagai bagian tak terpisahkan dari komunitas lokal yang ada.Sehingga kemenyatuan semacam ini menjadi ruh bagi hidup nya Islam di tengah-tengah masyarakat yang ada.

Jadi usaha untuk mencerabut ajaran Islam dari tradisi lokal sama hal nya dengan usaha untuk mengasingkan Islam dari pemeluk nya, oleh sebab itu cara-cara yang seperti ini justru malah akan menjadikan Islam di jauhi dan di takuti oleh pemeluk nya sendiri. Sekalipun itu di niatkan sebagai usaha untuk memberangus bid'ah dan praktek keagamaan yang di cap sesat.Yang juga belum tentu cara semacam  itu juga benar.

Senin, 23 Mei 2011

Memahami Ihsan Secara Substantif

Syahdan datanglah seorang lelaki yang berpakaian serba sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak di ketahui dari mana datang nya, tiba-tiba sudah ada di hadapan Kanjeng Nabi Muhammad saw.Pada saat itu kebetulan para sahabat juga sedang duduk menyertai Nabi dalam pertemuan itu. Lelaki itu kemudian menyandarkan dua lutut nya di kedua lutut Nabi, kemudian meletakkan kedua telapak tangan nya di atas paha nya.Lalu  bertanya kepada Nabi tentang apa itu Iman, apa itu Islam dan apa itu Ihsan. Satu persatu di jelaskan secara rinci apa itu iman, islam dan ihsan.

Dalam tulisan ini, kami ingin menitik beratkan pada pembahasan Ihsan, dalam hadits ini Pria misterius yang akhir nya di jelaskan oleh nabi kepada sahabat sebagai Malaikat Jibril a.s. ini,menjabarkan bahwa Ihsan ialah:"An ta'budallaha ka annaka tarahu, wain lam takun tarahu, fa innahu yaraka". (Agar kamu menghamba (beribadah) pada Allah seakan kamu melihat Nya, tapi bila kamu tidak bisa melihat Nya, maka sungguh Dia Maha melihat mu).

Ihsan, (Ahsana Yuhsinu Ihsan): dalam bahasa ialah "berbuat baik". Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Ihsan ialah perasaan dan kesadaran kita dalam menghamba kepada Allah swt. dengan selalu merasa melihat Nya atau dalam pengawasan Nya, bila tidak bisa seperti itu maka kita harus merasa bahwa penghambaan kita itu selalu di lihat dan di awasi oleh Nya. Dalam konteks ini, kami rasa lebih tepat  memaknai maksud dari "ubudiyyah" dalam hadits ini ialah sifat kita sebagai hamba ('abd) secara umum, bukan terbatas pada pemahaman "ibadah/ubudiyyah" yang khusus berupa ritual (dengan Tuhan)semata.

Jadi dalam memaknai Ihsan maka lebih tepat nya ialah: Kesadaran kita sebagai Hamba yang selalu merasa melihat Tuhan Nya, atau merasa di lihat dan di awasi Tuhan nya, di manapun, kapanpun, bersama siapapun, bukan terbatas hanya saat beribadah seperti Shalat dll. Karena kalau hanya di maknai sebagai "ibadah" yang bersifat ritual maka makna Ihsan juga akan sangat terbatas dan tidak universal. Padahal kata Ihsan itu sendiri  sebenar nya memiliki arti yang sangat universal yaitu "berbuat baik" yang konotasi nya ialah bentuk interaksi antar manusia, dalam kata lain hubungan horisontal (hablun min annas).

Pemaknaan Ihsan dengan kesadaran akan pengelihatan Tuhan pada kita sebagai hamba bisa di samakan dengan "dzikir" yang bermakna "ingat" (bukan  dzikir yang sebatas bermakna "menyebut").Karena substansi dari kedua hal ini yaitu "sadar" dan "ingat" pada ke -Maha melihat- Nya Tuhan akan tingkah laku kita. Pemahaman bahwa Ihsan bukan hanya kesadaran kita saat ibadah tentang Pengawasan Tuhan, tapi juga saat waktu dan kesempatan yang lain,dan  kemudian berimplikasi pada tingkah laku kita yang selalu ingin melakukan hanya yang "ihsan" (berbuat baik) pada sesama maka pemahaman yang demikian ini menjadi  lebih "substantif".

Senin, 09 Mei 2011

Pesantren Tanpa Nama

Pondok pesantren Tradisional yang banyak tersebar di berbagai penjuru Nusantara, terutama di tanah Jawa, yang mayoritas berafiliasi di bawah bendera Nahdlatul Ulama' adalah lembaga pendidikan tertua yang ada di negeri ini. Para pengasuh yang menjadi mua'ssis setiap pesantren, itu mayoritas juga pendiri organisasi terbesar di dunia yaitu NU. Misal nya pendiri pesantren Tebuireng adalah Mahaguru KH.Hasyim Asy'ari yang tidak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama'.

Kalau kita perhatikan, justru cikal bakal pesantren di negeri ini rata-rata tidak memberi nama pesantren nya dengan nama khusus apalagi menggunakan nama yang berbahasa arab. Kita ambil contoh misal nya, Pesantren Tebuireng, Pesantren Langitan, Pesantren Lirboyo, Pesantren Termas, Pesantren Girikusumo (Demak), Pesantren Tegal rejo (Magelang), Pesantren Balekambang (Jepara) dll. Rata-rata tidak ada tidak menggunakan nama berbau Arab.

Mungkin sebagian ada yang mencoba menggunakan nama dengan bahasa Arab, seperti Pesantren Alanwar (Sarang) atau Pesantren Raudlatul mubtadiin (Balekambang) dll, namun bagi masyarakat kebanyakan lebih familier menyebut nya dengan nama tempat nya, misal nya lebih suka menyebut Pesantren Al anwar dengan sebutan "Pesantren Sarang", bukan Alanwar. Begitu juga kalau mau menyebut nama Pesantren Raudlatul mubtadiin mereka lebih mudah menggunakan sebutan "Pesatren Balekambang".

Ada banyak alasan kenapa para Kiai pada saat itu lebih suka menggunakan nama desa atau kampung nya untuk menyebut nama pesantren nya. di antara nya ialah demi membumikan pesantren, agar lebih menyatu menjadi ruh dari kampung itu, di samping untuk memudah kan orang mengingat pesantren itu. Karena memang rata-rata pesantren itu datang belakangan setelah kampung itu ada sebelum nya, Bahkan kebanyakan penentuan lokasi pesantren itu bukan sembarangan, tapi di tentukan dari sebuah ritual Istikharah yang di lakukan oleh Sang Kiai sebelum menentukan di mana dia harus menetap dan mendirikan pesantren nya.

Sikap terbuka (inklusif), merangkul masyarakat, dan guyup dengan warga ini menjadi sebuah strategi awal agar pesantren bisa di terima oleh masyarakat setempat. Bagaimana mungkin pendatang baru yang masih di anggap asing kemudian tiba-tiba semena-mena mengklaim salah, sesat, dosa, dan masuk neraka terhadap masyarakat yang mau di dakwahi nya?... rasa nya kalau seandai nya para pendiri pesantren dulu seperti itu, niscaya Islam tidak menjadi besar di Nusantara. Karena masyarakat akan buru-buru berpaling muka, menutup pintu rumah mereka masing - masing, dan menolak dakwah Islamiyah yang di lakukan oleh para Wali saat itu.

Manuggaling pesantren dengan kampung setempat, kemudian menjadi sebuah keistimewaan tersendiri. Istimewa karena para kiai saat itu legowo untuk menerima dan meleburkan diri tanpa nama (formal) untuk pesantren nya,demi bisa di terima oleh warga. Malah kebanyakan akhir nya kemanunggalan nama itu bukan hanya sekedar di nama pesantren saja, namun juga di gunakan sebagai nama belakang (nisbat/nisby) bagi para kiai itu, seperti nama Mbah Hadi Girikusumo, Mbah Mad watu congol, Mbah Maksum Krapyak dll. Dan para kiai itu tidak merasa terhina di nisbatkan ke sebuah kampung kecil misal nya namun malah menjadi nama kebanggaan.

Sikap-sikap legowo, untuk manuggal dengan masyarakat inilah sekarang yang jarang kita temui dari pada da'i (pendakwah) Islam sekarang, justru terkadang prilaku mereka malah terkesan elitis, eksklusif dan tercerabut dari adat istiadat masyarakat setempat, dan berusaha membuat lelakon yang malah kadang di rasa asing oleh masyarakat yang akan di dakwahi nya. Seperti yang di lakukan oleh sebagian teman dari Ikhwan atau HTI , mereka menyebut bahwa Tahlilan itu Bid'ah, yang boleh itu adalah wirid ma'tsurat dari Nabi Muhammad SAW.Tapi setelah di tunjukkan ke masyarakat ternyata isinya ya sama saja yaitu Tahlil, Tahmid, Takbir dll.

Apalah arti nya memiliki nama berbahasa arab, misal nya. tapi kalau tidak di terima oleh masyarakat yang akan di dakwahi, justru ini akan menghambat misi dakwah yang akan di laksanakan. Maka lebih baik tidak bernama, dan melebur dengan nama kampung setempat asalkan bisa di terima dan sukses misi dakwah nya. Malah ada banyak Kiai yang tidak suka di sebutkan nama nya dalam catatan sejarah, sebagaimana di ceritakan oleh Almukarram Habib Luthfi Bin Yahya (Pekalongan): Bahwa saat ingin mendirikan NU, dulu Hadhratu syaikh KH.Hasyim Asyari menemui beberapa orang Kiai  Khas, untuk memohon restu dan minta idzin mendirikan NU setelah di Istikharahi oleh para Ulama di Haromain, beliau di suruh sowan ke Habib Hasyim bin Umar bin Toha Bin Yahya Pekalongan, dan sowan ke Mbah Kholil Mbangkalan, Saat KH Hasyim Asyari sowan beliau berdua mengiyakan dan merestui berdiri nya NU, sembari dawuh:"KH.Hasyim asyari silahkan laksanakan niatmu untuk membentuk wadah ahlussunah wal jamaah, saya rela tapi tolong nama saya jangan di tulis".

Beginilah keikhlasan para wali dulu dalam menjalankan tugas nya berdakwah di tanah Nusantara, mereka rela nama nya melebur di tempat tinggal nya, seperti Mbah Khalil Bangkalan ini, bahkan meminta tidak di catat dalam sejarah. Hal-hal seperti ini perlu di tiru dan di contoh oleh para da'i, kiai, ustadz dan para guru. Hal ini penting di tekankan di tengah suasana yang materialistik seperti sekarang ini. Yaitu apa-apa di hargai dengan materi dan uang, sampai-sampai dakwah yang harus nya steril dari niat materi seperti ini, sekarang juga sudah terjangkiti virus materialistik, "ada uang kami datang, tak ada uang kami tak datang". Begitu kira-kira kata yang ada di benak para da'i sekarang.

Semoga kita bisa melestarikan sikap tawadlu' dan ikhlas yang ada dalam diri para leluhur kita,.. Amin ya Rabbal alamin.

Waliyullah Memang Rahasia Allah


Oleh: Muhyiddin (dalam Terong Gosong)

Syeh Syihabudin Al Qalyubi menyebutkan dalam kitab karanganya ”An Nawadir”, bahwa Allah SWT merahasiakan 5(Lima) hal dalam 5(Lima) hal. salah satunya adalah Allah merahasiakan keberadaan kekasih-Nya(wali-Nya) di antara manusia.Untuk apa? Tidak lain adalah agar kita berhati-hati atau menghormati kepada semua orang.
Karena kita tidak tahu siapa orang yang kita selalu kita temui, boleh jadi menurut kita orang biasa/hina tapi ternyata ia adalah waliyullah, maka dengan begitu kita harus menghormati semua orang. Dan memang waliyullah adalah Rahasia Allah, hanya orang-orang pilihan saja yang tahu keberadaan wali-wali Allah sampai sampai di dunia per-wali-an muncul ”Pameo”:

لايعرف الوالي إلاالوالي

”Tidak ada yang mengetahui bahwa seseorang itu wali kecuali ia sendiri wali”.
Wali tidak lebih adalah seorang manusia, sama seperti kita-kita ini, hanya saja ia mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah, sehingga ia menjadi kekasih Allah.
Mengenai kerahasiaan wali di antara para manusia ini saya teringat apa yang dikisahkan oleh guru saya Mbah Kyai Solichun (PonPes Nurul Hasan, Geger Tegalrejo) sewaktu saya sowan kepada beliau. beliau bercerita, bahwa pada suatu hari Mbah Kyai Marzuqi Lirboyo kedatangan seorang tamu. Tidak seperti pada hari-hari biasanya, di mana tamu yang sowan adalah kyai atau santri berpakaian rapi. Tamu beliau kali ini memang lain dari yang lain, bermata sipit seperti orang keturunan tionghoa(bhs jawa: koyo wong cino), memakai celana pendek dan membawa seekor anjing yang diikat dengan tali.
Pada saat yang bersamaan Mbah Kyai Mahrus (adik Kyai Marzuqi) memperhatikan tamu yang datang ini dari kejauhan.
Tanpa disangka ternyata Mbah Kyai Marzuqi menyambut tamu ini dengan penuh hormat, mencium tanganya dan melayani tamu tersebut secara istimewa.
Karena terkejut dengan sikap Mbah Kyai Marzuqi teradap tamunya, maka setelah tamu tersebut pamitan, Mbah Kyai Mahrus bergegas bertanya kepada Mbah Kyai Marzuqi siapakah tamu beliau tadi dan mengapa Mbah kyai menyambut dengan penuh hormat (bhs Jawa:munduk-munduk), mencium tangan dan melayaninya dengan khidmat.
Mbah Marzuqi menjawab:”Kae mau Nabi Khidir, ngabari aku nek patang puluh dino maneh aku mati” (itu tadi nabi Khidir, memberitahuku bahwa 40 (empat puluh) hari lagi aku mati.”
Dan memang benar, Mbah Kyai Mahrus menghitung tepat 40 (empat puluh) hari setelah kedatangan tamu tersebut, Mbah Kyai Marzuqi dipanggil menghadap Allah SWT.
Wali memang rahasia Allah….
Wallahu A’lam.

Sabtu, 07 Mei 2011

Menjaga Toleransi

"Haleloyaa... Haleloyaa... Haleloyaa..." Sayup-sayup lagu itu aku dengar saat menunaikan jamaah shalat Jum'at  (6-Mei-2011) di Sebuah masjid milik Yayasan Dharma Karya di daerah Melawai Jakarta Selatan.Bukan aku saja yang mendengar lantunan lagu itu, bahkan seluruh jamaah yang hadir saat itu juga mendengar nya. Sampai pada saat di kumandangkan Iqamat pertanda Shalat Jum'ah mau di tunaikan setelah Khatib selesasi menjalankan tugas nya dalam Khutbah Jum'at yang ke dua, lagu itu semakin terdengar keras, karena suasana di masjid saat itu hening , dan hanya suara imam saja yang terdengar lewat pengeras suara.

Memang posisi masjid ini berada di dalam Komplek sekolahan, berdekatan dengan dua sekolahan Kristen dan satu gereja. Jadi segala suara yang keluar dari lembaga non muslim ini ketika di teriakkan dengan Toa maka akan terdengar dari dalam Masjid,sebalik nya ketika di dalam Masjid ada acara seperti Shalat Jum'at dll, maka akan terdengar juga dari kedua lembaga pendidikan Kristen dan gereja  itu. Begitu juga saat kemarin kami melaksanakan Shalat Jumat di Masjid Alfalah ini. Di samping mendengarkan dengan khusuk petuah dari khatib yang kebetulan menjelaskan tentang akhlaq Nabi Muhammad SAW. terhadap tetangga, kami para jamaah juga sayup-sayup mendengar dendang lagu Haleloya, jadi seakan-akan suara khatib di beri back sound dengan lagu haleloya.

Saat itu kami hanya senyum-senyum ringan mendengar lagu itu,tidak pernah terlintas dari diri kami untuk merasa terusik, dan kemudian melakukan hal yang negatif, sungguh sikap yang harus di lestarikan. Di saat menghadapi realitas perbedaan, maka senyum adalah kunci paling ampuh untuk meredam ketidak sepahaman. Bisa di bayangkan seandai nya saat itu yang berkhotbah adalah orang (khatib) yang berwatak suka memprovokasi bisa jadi setelah Shalat Jum'at yang terjadi adalah penyerangan atau kekerasan atas nama agama yang tidak perlu (Na'udzu billah min dzalik).Itu bukan tidak mungkin karena seperti api, sumbu nya sudah ada (bagi kelompok islam yang menganggap itu sebagai api)tinggal di sulut maka api akan mudah menyala. Namun sekali lagi saat itu toleransi masih ada di dada kami masing-masing, dan semoga akan selalu lestari.

Dari kejadian singkat itu, aku lalu menyimpulkan bahwa sebagai bangsa Timur kita sebenar nya masih sangat toleran terhadap perbedaan, entah itu perbedaan agama, suku,ras, pandangan politik dll. Perbedaan bisa menyebabkan kita menjadi bermusuhan dan saling menyerang hanya ketika di bakar oleh pemahaman sebagian khatib, da'i atau penceramah yang "sempit". Oleh sebab itu kita harus hati-hati menentukan siapa sajakah yang layak kita dengar khutbah,ceramah,dan dakwah nya. Kepandaian kita untuk menentukan pilihan siapa yang akan kita jadikan panutan menjadi penyebab damai dan rusuh nya negeri ini.Hanya kita sajalah yang bisa menentukan masa depan negeri ini.

Menjaga toleransi adalah "kata kunci" damai nya negeri ini.Tidak harus dengan tindakan yang rumit-rumit dan idealis, cukup dengan perilaku yang sederhana, seperti senyuman ringan saat sedang berbeda,sebagaimana yang kami lakukan di saat itu. Walaupun kami sedang melakukan ritual yang paling suci (shalat Jum'at), dan sedikit terusik dengan nyanyian-nyanyian yang non islami, tapi kami tetap tersenyum, toh nyatanya shalat kami selesai juga,dan lengkap syarat rukun nya. oleh sebab itu tersenyumlah, dan bahkan Kanjeng Nabi pun menganggap nya sebagai ibadah. "Senyum itu ibadah".