Dalam lakon pewayangan yang sering di pentaskan oleh para dalang, kita sering mendengar sebuah istilah untuk "pusaka" yang di gunakan oleh Yudhistira atau Puntodewo untuk mengalahkan musuh-musuh nya. Jamus Kalimosodo adalah sebuah istilah yang di karang oleh Kanjeng Sunan Kalijogo selaku pengarang cerita dalam dunia wayang. "Jamus" arti nya ialah suci dan "Kalimosodo" ialah kalimat syahadat yang menjadi pondasi aqidah keislaman seseorang, namun saat itu agar mudah di terima oleh masyarakat Jawa (Nusantara) maka Kanjeng Sunan Kalijogo mengadaptasi nya dalam sebuah cerita dan pakem lakon pakeliran wayang.
Dalam cerita pewayangan Yudhistira di ceritakan sebagai sosok yang memiliki darah putih, arti nya suci karena sudah memiliki sebuah senjata yang berupa "Kalimat Syahadat" (Kalimosodo) yang menjadi iftitah (permulaan) seseorang untuk menuju tingkatan kesucian hidup berupa rukun Islam. Selain Yudhistira (yang memiliki ageman Jimat kalimosodo) dalam cerita pewayangan, dia juga memiliki beberapa saudara lagi yaitu: Werkudoro, Janoko, Nakulo dan Sadewo.Keempat saudara itu menjadi perlambang dari rukun Islam yang empat setelah Syahadat yaitu Sholat,Puasa,Zakat, dan Haji. Dan genap nya mereka di sebut sebagai Pandhowo untuk melambangkan rukun Islam yang lima.Kelima tokoh wayang itu adalah gambaran pelaksanaan agama Islam secara utuh,maka pandawa adalah simbol kesatuan dan kemanunggalan ritual agama Islam yang tak dapat di pisah-pisahkan.
Dalam tradisi Islam Jawa kita sering melihat upacara sekatenan, yang sampai sekarang masih di uri-uri, sebagai sebuah tradisi yang di warisi dari para leluhur, sekatenan awal nya adalah sebuah kisah yang menggambarkan tentang kejadian saat Kanjeng Sunan Kalijogo mengumpulkan masyarakat sekitar masjid Demak untuk mengenalkan agama Islam. Pada saat itu Kanjeng Sunan mengumpulkan mereka dengan tabuh-tabuhan gamelan lengkap sebagai media penarik warga, setelah mereka penasaran maka mereka di perbolehkan masuk untuk melihat "Tontonan gamelan sekaten" asal mereka mengucapkan sekaten (syahadatain) maksud nya ialah dua syahadat yaitu : syahadat tauhid dan syahadat rasul.
Setelah berikrar dengan sekaten (dua syahadat) lalu mereka di ajari oleh Kanjeng Sunan untuk cuci muka, tangan, kepala, telinga dan kaki, yang sebenar nya ialah wudlu, namun itu di kenalkan sebagai sarat untuk bisa masuk masjid Demak kalau mau menonton Gamelan dan wayang yang di pentaskan di pendopo masjid, oleh sebab itu kalau kita mengunjungi masjid-masjid peninggalan zaman Walisongo dulu maka kita akan menemukan kulah pawudlon (kulah untuk wudlu) yang berada di halaman masjid, dan hanya berbentuk kolan lebar, tidak seperti sekarang yang mana tempat wudlu di bangun secara modern dengan kran air yang mancur.
Jadi antara dua istilah Jamus kalimosodo dan sekatenan itu memiliki akar sejarah yang sama-sama bersumber dari Walisongo dulu, kalau Jamus Kalimosodo adalah sebuah lakon wayang yang di adaptasi dari syahadat dan rukun Islam,tapi kalau sekaten adalah sebuah istilah upacara yang di adaptasi dari sejarah masuk Islam nya masyarakat Jawa. Dan sama-sama bersumber dari syahadat yang menjadi pintu masuk (madkhal) bagi seseorang yang ingin masuk Islam.
Kalau kita bawa ke issue kontemporer sekarang berkaitan mengenai Syahadat ini yang menjadikan sebagian dari umat Islam menkafirkan kelompok Islam yang lain, maka ada beberapa hal yang bisa kita ambil hikmah dari sejarah kalimosodo dan sekaten ini. Yang di antara nya ialah adaptasi yang di pakai oleh Sunan kalijogo untuk mengenalkan syahadat walaupun menggunakan istilah yang kejawa-jawaan, namun di maklumi oleh para Wali (baca ulama') lain nya. saya tidak bisa membayangkan bagaimana sikap yang akan di lakukan oleh FPI terhadap langkah Sunan Kalijogo ini bila mereka hidup semasa. Bisa jadi Sunan Kalijogo di kafirkan dan di anggap sesat atau di anggap melecehkan Islam karena telah merubah istilah syahadat dengan Kalimosodo atau sekaten bahkan di sini rukun Islam di simbolisasikan dengan beberapa nama lakon wayang seperti yang telah di sebutkan di atas.
Oleh sebab itu kita sebagai muslim yang baik tentu nya harus bisa mengambil hikmah dari sikap para wali (ulama') selain dari Sunan Kalijogo yang toleran terhadap langkah dan ijtihad dalam metode dakwah yang di lakukan oleh Sunan Kalijogo. Sehingga Islam menjadi agama yang mudah di terima oleh warga Jawa (baca Nusantara) yang saat itu belum kenal Islam sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar