Bagi Kang To, seorang santri yang sudah lama mondok di sebuah pesantren tua di pelosok kampung, hidup nya itu tidak berarti apa-apa tanpa mendapat pangestu dari Guru nya. Restu dari seorang Kiai di dalam tradisi pesantren adalah hal yang sangat di harapkan oleh santri, mungkin pangestu bisa di artikan dengan kata "Ridlo". Apapun yang di lakukan oleh santri dalam menempuh hidup dan menuntut ilmu selama di pesantren tidak akan berarti apa-apa dan tidak akan berguna bila tidak di sertai dengan pangestu dari Kiai, sebalik nya apa bila seorang santri sudah di ridloi oleh Kiai maka hidup nya akan terasa serba mudah, berkah dan ndilalah.
Bagi kalangan non pesantren memang agak susah memahami pola hubungan antara santri dan kiai yang seakan sudah menjadi aturan baku di pesantren ini, ada banyak cara di lakukan oleh santri untuk mendapat pangestu kiai, seperti kerelaan santri untuk ngenger dan nyantrik di ndalem Kiai. Ada santri yang kerjaan nya hanya nyawah,asah-asah atau mencuci piring di dapur, ke pasar da lain sebagai nya. Ada lagi yang kerjaan nya momong putra putri kiai, dan umbah-umbah rasuk'an keluarga kiai. Semua itu di lakukan tanpa imbalan upah seperti layak nya pekerja dengan majikan nya. Apapun yang di lakukan santri kepada kiai nya adalah sebagai bentuk khidmah dan pelayanan cuma-cuma dan hanya berharap berkah dan pangestu Kiai.
Dalam dunia pesantren kiai memiliki posisi sentral, kiai menjadi tempat untuk matur dan wadul segala permasalahan yang di hadapi oleh santri, bahkan juga oleh masyarakat sekitar pesantren, bukan hanya urusan permohonan dengan Tuhan, seperti minta berkah untuk di doakan agar hajat nya di kabulkan.Bahkan urusan keduniaan pun di tumpahkan kepada kiai, misal nya ketika ada seseorang sedang sakit, atau tertimpa musibah maka kiai pun menjadi tumpuan harapan mereka, Kiai di minta untuk nyembur si sakit agar sembuh, atau Kiai di mohon agar dia mau memberi pinjaman uang pada mereka saat sedang kepepet sebuah kebutuhan. Bahkan ada warga yang agak ndablek dan berani nempohi kiai untuk melunasi kreditan motor nya,.. aneh-aneh memang.
Seperti teman ku yang satu ini, Kak to aku biasa memanggil nya, dia dulu hanya seorang santri dari keluarga miskin, bahkan waktu masih mondok dulu, saking malu nya kepada teman-teman sekelas dia tidak berkenan untuk di kunjungi rumah nya. Akupun hanya sekali di beri kesempatan oleh nya untuk datang ke rumah nya, tepat nya waktu dia menikah, dan aku mengajak anak istriku untuk memenuhi undangan yang sangat langka ini dan hanya sekali seumur hidup. Pada saat itu aku hanya bisa mbatin dan nyletuk ke istriku :"Pantes dulu temen-temen tidak boleh datang". begitu ucapku saat melihat rumah nya yang sangat kecil dan nyampur dengan kandang kambing. Sebuah rumah yang sangat jauh dari sehat, dan layak huni. Namun aku melihat ketentraman memancar dari sana.
Saat masih mondok Kang To selalu nderek dawuh Kiai, selain ngenger di ndalem dengan melaksanakan tugas rumah tangga , dia juga setiap pagi nyuci mobil yang selalu di pakai oleh pak Kiai.Bahkan ada tugas yang tak tergantikan oleh santri lain yaitu urusan merawat alas kaki Kiai, tugas nya yang rutin adalah nyemir sendal dan sepatu Kiai. Memang bagi sebagian orang ini tugas yang remeh dan hina, mungkin. tapi bagi nya merawat alas kaki kiai adalah tugas mulia agar dia mendapat berkah dan pangestu dari nya, dia tidak pernah merasa risih dan terhina saat harus moles sendal pak Kiai di depan santri yang lain, semua di jalani tanpa pamrih duniawi.
Setelah Kang To boyong dari pondok, banyak teman-teman yang meremehkan nya, namun berkat dari kesetiaan nya untuk khidmah kepada kiai maka sekarang hidup nya sudah lebih terhormat, bahkan bagiku sangat terhormat, dia sekarang sudah jadi Na'ib yang tukang menikahkan pengantin. Memang proses hidup nya tidak sederhana, sering di hadapkan dengan cobaan, namun dia selalu yakin pangestu kiai adalah bekal yang tak ternilai untuk bisa menyelesaikan permasalahan nya. Dia salah satu sosok yang aku idolakan dan aku banggakan. "Nisbate santri ngluthuk neng iso mulyo seperti ini" begitu jelasku kepada istri ku saat membanggakan nya. Maka sampai kapanpun aku selalu berharap agar di anggep dan di daku oleh Pak kiai seperti kawanku yang satu ini, aku merasa iri pada nya karena bagiku hidup nya selalu di sinari oleh berkah Kiai. Menurut ku di anggep dan di daku sebagai santri oleh Kiai sudah sangat cukup. Sampai kapanpun "Pejah gesang nderek kiai" itu prinsip hidup santri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar