Senin, 23 Mei 2011

Memahami Ihsan Secara Substantif

Syahdan datanglah seorang lelaki yang berpakaian serba sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak di ketahui dari mana datang nya, tiba-tiba sudah ada di hadapan Kanjeng Nabi Muhammad saw.Pada saat itu kebetulan para sahabat juga sedang duduk menyertai Nabi dalam pertemuan itu. Lelaki itu kemudian menyandarkan dua lutut nya di kedua lutut Nabi, kemudian meletakkan kedua telapak tangan nya di atas paha nya.Lalu  bertanya kepada Nabi tentang apa itu Iman, apa itu Islam dan apa itu Ihsan. Satu persatu di jelaskan secara rinci apa itu iman, islam dan ihsan.

Dalam tulisan ini, kami ingin menitik beratkan pada pembahasan Ihsan, dalam hadits ini Pria misterius yang akhir nya di jelaskan oleh nabi kepada sahabat sebagai Malaikat Jibril a.s. ini,menjabarkan bahwa Ihsan ialah:"An ta'budallaha ka annaka tarahu, wain lam takun tarahu, fa innahu yaraka". (Agar kamu menghamba (beribadah) pada Allah seakan kamu melihat Nya, tapi bila kamu tidak bisa melihat Nya, maka sungguh Dia Maha melihat mu).

Ihsan, (Ahsana Yuhsinu Ihsan): dalam bahasa ialah "berbuat baik". Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Ihsan ialah perasaan dan kesadaran kita dalam menghamba kepada Allah swt. dengan selalu merasa melihat Nya atau dalam pengawasan Nya, bila tidak bisa seperti itu maka kita harus merasa bahwa penghambaan kita itu selalu di lihat dan di awasi oleh Nya. Dalam konteks ini, kami rasa lebih tepat  memaknai maksud dari "ubudiyyah" dalam hadits ini ialah sifat kita sebagai hamba ('abd) secara umum, bukan terbatas pada pemahaman "ibadah/ubudiyyah" yang khusus berupa ritual (dengan Tuhan)semata.

Jadi dalam memaknai Ihsan maka lebih tepat nya ialah: Kesadaran kita sebagai Hamba yang selalu merasa melihat Tuhan Nya, atau merasa di lihat dan di awasi Tuhan nya, di manapun, kapanpun, bersama siapapun, bukan terbatas hanya saat beribadah seperti Shalat dll. Karena kalau hanya di maknai sebagai "ibadah" yang bersifat ritual maka makna Ihsan juga akan sangat terbatas dan tidak universal. Padahal kata Ihsan itu sendiri  sebenar nya memiliki arti yang sangat universal yaitu "berbuat baik" yang konotasi nya ialah bentuk interaksi antar manusia, dalam kata lain hubungan horisontal (hablun min annas).

Pemaknaan Ihsan dengan kesadaran akan pengelihatan Tuhan pada kita sebagai hamba bisa di samakan dengan "dzikir" yang bermakna "ingat" (bukan  dzikir yang sebatas bermakna "menyebut").Karena substansi dari kedua hal ini yaitu "sadar" dan "ingat" pada ke -Maha melihat- Nya Tuhan akan tingkah laku kita. Pemahaman bahwa Ihsan bukan hanya kesadaran kita saat ibadah tentang Pengawasan Tuhan, tapi juga saat waktu dan kesempatan yang lain,dan  kemudian berimplikasi pada tingkah laku kita yang selalu ingin melakukan hanya yang "ihsan" (berbuat baik) pada sesama maka pemahaman yang demikian ini menjadi  lebih "substantif".

Senin, 09 Mei 2011

Pesantren Tanpa Nama

Pondok pesantren Tradisional yang banyak tersebar di berbagai penjuru Nusantara, terutama di tanah Jawa, yang mayoritas berafiliasi di bawah bendera Nahdlatul Ulama' adalah lembaga pendidikan tertua yang ada di negeri ini. Para pengasuh yang menjadi mua'ssis setiap pesantren, itu mayoritas juga pendiri organisasi terbesar di dunia yaitu NU. Misal nya pendiri pesantren Tebuireng adalah Mahaguru KH.Hasyim Asy'ari yang tidak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama'.

Kalau kita perhatikan, justru cikal bakal pesantren di negeri ini rata-rata tidak memberi nama pesantren nya dengan nama khusus apalagi menggunakan nama yang berbahasa arab. Kita ambil contoh misal nya, Pesantren Tebuireng, Pesantren Langitan, Pesantren Lirboyo, Pesantren Termas, Pesantren Girikusumo (Demak), Pesantren Tegal rejo (Magelang), Pesantren Balekambang (Jepara) dll. Rata-rata tidak ada tidak menggunakan nama berbau Arab.

Mungkin sebagian ada yang mencoba menggunakan nama dengan bahasa Arab, seperti Pesantren Alanwar (Sarang) atau Pesantren Raudlatul mubtadiin (Balekambang) dll, namun bagi masyarakat kebanyakan lebih familier menyebut nya dengan nama tempat nya, misal nya lebih suka menyebut Pesantren Al anwar dengan sebutan "Pesantren Sarang", bukan Alanwar. Begitu juga kalau mau menyebut nama Pesantren Raudlatul mubtadiin mereka lebih mudah menggunakan sebutan "Pesatren Balekambang".

Ada banyak alasan kenapa para Kiai pada saat itu lebih suka menggunakan nama desa atau kampung nya untuk menyebut nama pesantren nya. di antara nya ialah demi membumikan pesantren, agar lebih menyatu menjadi ruh dari kampung itu, di samping untuk memudah kan orang mengingat pesantren itu. Karena memang rata-rata pesantren itu datang belakangan setelah kampung itu ada sebelum nya, Bahkan kebanyakan penentuan lokasi pesantren itu bukan sembarangan, tapi di tentukan dari sebuah ritual Istikharah yang di lakukan oleh Sang Kiai sebelum menentukan di mana dia harus menetap dan mendirikan pesantren nya.

Sikap terbuka (inklusif), merangkul masyarakat, dan guyup dengan warga ini menjadi sebuah strategi awal agar pesantren bisa di terima oleh masyarakat setempat. Bagaimana mungkin pendatang baru yang masih di anggap asing kemudian tiba-tiba semena-mena mengklaim salah, sesat, dosa, dan masuk neraka terhadap masyarakat yang mau di dakwahi nya?... rasa nya kalau seandai nya para pendiri pesantren dulu seperti itu, niscaya Islam tidak menjadi besar di Nusantara. Karena masyarakat akan buru-buru berpaling muka, menutup pintu rumah mereka masing - masing, dan menolak dakwah Islamiyah yang di lakukan oleh para Wali saat itu.

Manuggaling pesantren dengan kampung setempat, kemudian menjadi sebuah keistimewaan tersendiri. Istimewa karena para kiai saat itu legowo untuk menerima dan meleburkan diri tanpa nama (formal) untuk pesantren nya,demi bisa di terima oleh warga. Malah kebanyakan akhir nya kemanunggalan nama itu bukan hanya sekedar di nama pesantren saja, namun juga di gunakan sebagai nama belakang (nisbat/nisby) bagi para kiai itu, seperti nama Mbah Hadi Girikusumo, Mbah Mad watu congol, Mbah Maksum Krapyak dll. Dan para kiai itu tidak merasa terhina di nisbatkan ke sebuah kampung kecil misal nya namun malah menjadi nama kebanggaan.

Sikap-sikap legowo, untuk manuggal dengan masyarakat inilah sekarang yang jarang kita temui dari pada da'i (pendakwah) Islam sekarang, justru terkadang prilaku mereka malah terkesan elitis, eksklusif dan tercerabut dari adat istiadat masyarakat setempat, dan berusaha membuat lelakon yang malah kadang di rasa asing oleh masyarakat yang akan di dakwahi nya. Seperti yang di lakukan oleh sebagian teman dari Ikhwan atau HTI , mereka menyebut bahwa Tahlilan itu Bid'ah, yang boleh itu adalah wirid ma'tsurat dari Nabi Muhammad SAW.Tapi setelah di tunjukkan ke masyarakat ternyata isinya ya sama saja yaitu Tahlil, Tahmid, Takbir dll.

Apalah arti nya memiliki nama berbahasa arab, misal nya. tapi kalau tidak di terima oleh masyarakat yang akan di dakwahi, justru ini akan menghambat misi dakwah yang akan di laksanakan. Maka lebih baik tidak bernama, dan melebur dengan nama kampung setempat asalkan bisa di terima dan sukses misi dakwah nya. Malah ada banyak Kiai yang tidak suka di sebutkan nama nya dalam catatan sejarah, sebagaimana di ceritakan oleh Almukarram Habib Luthfi Bin Yahya (Pekalongan): Bahwa saat ingin mendirikan NU, dulu Hadhratu syaikh KH.Hasyim Asyari menemui beberapa orang Kiai  Khas, untuk memohon restu dan minta idzin mendirikan NU setelah di Istikharahi oleh para Ulama di Haromain, beliau di suruh sowan ke Habib Hasyim bin Umar bin Toha Bin Yahya Pekalongan, dan sowan ke Mbah Kholil Mbangkalan, Saat KH Hasyim Asyari sowan beliau berdua mengiyakan dan merestui berdiri nya NU, sembari dawuh:"KH.Hasyim asyari silahkan laksanakan niatmu untuk membentuk wadah ahlussunah wal jamaah, saya rela tapi tolong nama saya jangan di tulis".

Beginilah keikhlasan para wali dulu dalam menjalankan tugas nya berdakwah di tanah Nusantara, mereka rela nama nya melebur di tempat tinggal nya, seperti Mbah Khalil Bangkalan ini, bahkan meminta tidak di catat dalam sejarah. Hal-hal seperti ini perlu di tiru dan di contoh oleh para da'i, kiai, ustadz dan para guru. Hal ini penting di tekankan di tengah suasana yang materialistik seperti sekarang ini. Yaitu apa-apa di hargai dengan materi dan uang, sampai-sampai dakwah yang harus nya steril dari niat materi seperti ini, sekarang juga sudah terjangkiti virus materialistik, "ada uang kami datang, tak ada uang kami tak datang". Begitu kira-kira kata yang ada di benak para da'i sekarang.

Semoga kita bisa melestarikan sikap tawadlu' dan ikhlas yang ada dalam diri para leluhur kita,.. Amin ya Rabbal alamin.

Waliyullah Memang Rahasia Allah


Oleh: Muhyiddin (dalam Terong Gosong)

Syeh Syihabudin Al Qalyubi menyebutkan dalam kitab karanganya ”An Nawadir”, bahwa Allah SWT merahasiakan 5(Lima) hal dalam 5(Lima) hal. salah satunya adalah Allah merahasiakan keberadaan kekasih-Nya(wali-Nya) di antara manusia.Untuk apa? Tidak lain adalah agar kita berhati-hati atau menghormati kepada semua orang.
Karena kita tidak tahu siapa orang yang kita selalu kita temui, boleh jadi menurut kita orang biasa/hina tapi ternyata ia adalah waliyullah, maka dengan begitu kita harus menghormati semua orang. Dan memang waliyullah adalah Rahasia Allah, hanya orang-orang pilihan saja yang tahu keberadaan wali-wali Allah sampai sampai di dunia per-wali-an muncul ”Pameo”:

لايعرف الوالي إلاالوالي

”Tidak ada yang mengetahui bahwa seseorang itu wali kecuali ia sendiri wali”.
Wali tidak lebih adalah seorang manusia, sama seperti kita-kita ini, hanya saja ia mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah, sehingga ia menjadi kekasih Allah.
Mengenai kerahasiaan wali di antara para manusia ini saya teringat apa yang dikisahkan oleh guru saya Mbah Kyai Solichun (PonPes Nurul Hasan, Geger Tegalrejo) sewaktu saya sowan kepada beliau. beliau bercerita, bahwa pada suatu hari Mbah Kyai Marzuqi Lirboyo kedatangan seorang tamu. Tidak seperti pada hari-hari biasanya, di mana tamu yang sowan adalah kyai atau santri berpakaian rapi. Tamu beliau kali ini memang lain dari yang lain, bermata sipit seperti orang keturunan tionghoa(bhs jawa: koyo wong cino), memakai celana pendek dan membawa seekor anjing yang diikat dengan tali.
Pada saat yang bersamaan Mbah Kyai Mahrus (adik Kyai Marzuqi) memperhatikan tamu yang datang ini dari kejauhan.
Tanpa disangka ternyata Mbah Kyai Marzuqi menyambut tamu ini dengan penuh hormat, mencium tanganya dan melayani tamu tersebut secara istimewa.
Karena terkejut dengan sikap Mbah Kyai Marzuqi teradap tamunya, maka setelah tamu tersebut pamitan, Mbah Kyai Mahrus bergegas bertanya kepada Mbah Kyai Marzuqi siapakah tamu beliau tadi dan mengapa Mbah kyai menyambut dengan penuh hormat (bhs Jawa:munduk-munduk), mencium tangan dan melayaninya dengan khidmat.
Mbah Marzuqi menjawab:”Kae mau Nabi Khidir, ngabari aku nek patang puluh dino maneh aku mati” (itu tadi nabi Khidir, memberitahuku bahwa 40 (empat puluh) hari lagi aku mati.”
Dan memang benar, Mbah Kyai Mahrus menghitung tepat 40 (empat puluh) hari setelah kedatangan tamu tersebut, Mbah Kyai Marzuqi dipanggil menghadap Allah SWT.
Wali memang rahasia Allah….
Wallahu A’lam.

Sabtu, 07 Mei 2011

Menjaga Toleransi

"Haleloyaa... Haleloyaa... Haleloyaa..." Sayup-sayup lagu itu aku dengar saat menunaikan jamaah shalat Jum'at  (6-Mei-2011) di Sebuah masjid milik Yayasan Dharma Karya di daerah Melawai Jakarta Selatan.Bukan aku saja yang mendengar lantunan lagu itu, bahkan seluruh jamaah yang hadir saat itu juga mendengar nya. Sampai pada saat di kumandangkan Iqamat pertanda Shalat Jum'ah mau di tunaikan setelah Khatib selesasi menjalankan tugas nya dalam Khutbah Jum'at yang ke dua, lagu itu semakin terdengar keras, karena suasana di masjid saat itu hening , dan hanya suara imam saja yang terdengar lewat pengeras suara.

Memang posisi masjid ini berada di dalam Komplek sekolahan, berdekatan dengan dua sekolahan Kristen dan satu gereja. Jadi segala suara yang keluar dari lembaga non muslim ini ketika di teriakkan dengan Toa maka akan terdengar dari dalam Masjid,sebalik nya ketika di dalam Masjid ada acara seperti Shalat Jum'at dll, maka akan terdengar juga dari kedua lembaga pendidikan Kristen dan gereja  itu. Begitu juga saat kemarin kami melaksanakan Shalat Jumat di Masjid Alfalah ini. Di samping mendengarkan dengan khusuk petuah dari khatib yang kebetulan menjelaskan tentang akhlaq Nabi Muhammad SAW. terhadap tetangga, kami para jamaah juga sayup-sayup mendengar dendang lagu Haleloya, jadi seakan-akan suara khatib di beri back sound dengan lagu haleloya.

Saat itu kami hanya senyum-senyum ringan mendengar lagu itu,tidak pernah terlintas dari diri kami untuk merasa terusik, dan kemudian melakukan hal yang negatif, sungguh sikap yang harus di lestarikan. Di saat menghadapi realitas perbedaan, maka senyum adalah kunci paling ampuh untuk meredam ketidak sepahaman. Bisa di bayangkan seandai nya saat itu yang berkhotbah adalah orang (khatib) yang berwatak suka memprovokasi bisa jadi setelah Shalat Jum'at yang terjadi adalah penyerangan atau kekerasan atas nama agama yang tidak perlu (Na'udzu billah min dzalik).Itu bukan tidak mungkin karena seperti api, sumbu nya sudah ada (bagi kelompok islam yang menganggap itu sebagai api)tinggal di sulut maka api akan mudah menyala. Namun sekali lagi saat itu toleransi masih ada di dada kami masing-masing, dan semoga akan selalu lestari.

Dari kejadian singkat itu, aku lalu menyimpulkan bahwa sebagai bangsa Timur kita sebenar nya masih sangat toleran terhadap perbedaan, entah itu perbedaan agama, suku,ras, pandangan politik dll. Perbedaan bisa menyebabkan kita menjadi bermusuhan dan saling menyerang hanya ketika di bakar oleh pemahaman sebagian khatib, da'i atau penceramah yang "sempit". Oleh sebab itu kita harus hati-hati menentukan siapa sajakah yang layak kita dengar khutbah,ceramah,dan dakwah nya. Kepandaian kita untuk menentukan pilihan siapa yang akan kita jadikan panutan menjadi penyebab damai dan rusuh nya negeri ini.Hanya kita sajalah yang bisa menentukan masa depan negeri ini.

Menjaga toleransi adalah "kata kunci" damai nya negeri ini.Tidak harus dengan tindakan yang rumit-rumit dan idealis, cukup dengan perilaku yang sederhana, seperti senyuman ringan saat sedang berbeda,sebagaimana yang kami lakukan di saat itu. Walaupun kami sedang melakukan ritual yang paling suci (shalat Jum'at), dan sedikit terusik dengan nyanyian-nyanyian yang non islami, tapi kami tetap tersenyum, toh nyatanya shalat kami selesai juga,dan lengkap syarat rukun nya. oleh sebab itu tersenyumlah, dan bahkan Kanjeng Nabi pun menganggap nya sebagai ibadah. "Senyum itu ibadah".

Minggu, 01 Mei 2011

Sapa Nandur, Ngundhuh

Dalam sebuah artikel di Kompas -Minggu,1 Mei 2011-  berjudul "Mencumbu Sarang Angin",yang mengupas tentang rumah Kang Sobari (seorang budayawan) banyak sekali pelajaran hidup yang di ambil beliau dari rumah yang ndhelik dari keramaian kota. Ada hal yang menarik untuk di kupas dari tulisan singkat di Kompas ini.di antara nya ialah sebuah cerita dari Kang Sobari bahwa  dalam sebuah kesempatan saat memberikan petuah atau pesan hidup ke putri-putri nya.Beliau berpesan:"Urip iku beja-cilaka,ala-becik,kabeh mung methik wohing pekerti. Sapa gawe, nganggo. Sapa nandur,ngundhuh.Supaya sarwa becik ,mula aja gawe kapitunaning liyan". (Hidup itu untung-celaka,buruk-baik,semua hanya memetik buah perbuatan sendiri.Siapa berbuat ia bertanggung jawab,siapa menanam, menuai.Supaya semua  ya baik,jangan berbuat hal-hal yang merugikan orang lain).

Begitulah petuah yang biasa di ajarkan oleh leluhur, orang tua, dan para sesepuh kita kepada generasi selanjut nya. Rasa nya petuah seperti itu akan selalu relevan untuk selalu di ajarkan dari generasi ke generasi berikut nya. Demi kelangsungan peradaban manusia yang berkeadaban dan berkemanusiaan. Apa lagi kalau kita melihat prilaku kebanyakan dari kita yang akhir-akhir sudah tidak melihat lagi tatanan dan pakem hidup yang semestinya, apakah perbuatan nya itu merugikan orang lain atau tidak?.

Mari kita tengok sebentar, bagaimana para teroris yang selalu membuat keresahan di tengah masyarakat, apa lagi kalau sampai perbuatan mereka itu sudah mengakibatkan kematian jiwa seseorang, maka yang terjadi selanjut nya ialah, seorang istri menjadi janda,seorang anak menjadi yatim dan orang tua menjadi tak beranak lagi. betapa banyak pihak yang di rugikan dari perbuatan yang di klaim sebagai misi suci menuju surga. Benarkah perbuatan itu memang bisa menghantarkan menuju surga,tidak ada yang bisa memastikan dan tidak ada yang tahu.

Rasa nya mayoritas dari kita, mulai dari pejabat, politisi,pekerja,dan orang biasa seperti kita yang awam, akhir-akhir ini sudah mulai tidak hirau dengan petuah-petuah adiluhung yang bisa menjadi penuntun jalan hidup kita. Oleh sebab itu yang terjadi adalah saling tikam, saling serang dan saling merugikan satu sama lain. Sedikit-sedikit kita mudah tersinggung, mudah menghujat, dan mudah memusuhi, bahkan mencelakai, dengan tanpa rasa takut apakah perbuatan kita itu bisa berbalik kepada diri kita lagi apa tidak.

"Sapa nandur, ngundhuh" , Begitulah pesan yang terkesan seperti membenarkan ada nya hukum karma. Petuah ini sama makna dengan unen-unen sederhana di Jawa:"Ojo njiwet, yen ora gelem di jiwet". (Jangan mencubit kalau tidak mau di cubit). Kalau kita sambung kan ke segala bentuk tindakan dan prilaku kita sehari -hari, bisa saja kita kiyaskan dengan kata: Ojo ngebom yen ora gelem di bom. Ojo mateni yen ora gelem di pateni. Ojo menthung yen ora gelem di penthung.Jangan mencelakakan orang lain kalau tidak mau di celakakan, Jangan menikam teman politik kalau tidak mau di tikam, dst.Kalau mind set diri kita masing-masing sudah menyadari hal ini, maka kehidupan kita sehari-hari akan menjadi sebuah kehidupan yang harmoni,damai,dan saling menghargai, karena kesadaran diri kita bahwa perbuatan buruk yang kita lakukan, bagaimanapun akan kembali lagi kita pertanggung jawabkan baik instant di dunia dan kelak di akherat nanti.

Tanpa harus dengan menggunakan dalil-dalil agama yang hanya di ketahui oleh para kiai, ustadz dan mereka yang tahu agama saja.Rasa nya perbuatan mencelakai orang lain, itu sudah pasti tidak baik, peradaban manapun memastikan itu.Oleh sebab itu mari kita melakukan perbuatan yang baik, sekecil dan seremeh apapun di mata kita. karena kebaikan itu adalah bagian dari manifestasi keimanan. Karena dalam Islam perbuatan baik itu banyak sekali cabang-cabang nya dan di anggap menjadi bagian dari tanda penunjuk keimanan, sebagaimana di sabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. "Bahwa menyingkirkan kotoran dari jalan adalah sebagai selemah-lemah nya iman".
Kalau menyingkirkan kotoran dari jalan saja di anggap sebagai bagian dari iman, maka perbuatan baik yang jauh lebih bernilai dalam kemanusiaan  sudah pasti akan lebih di hargai sebagai bagian dari bukti keimanan, dan tidak perlu repot-repot melakukan teror yang justru kontra produktif dari maqasid syariah (maslahat).