oleh Husein Muhammad pada 16 April 2011
Diskusi dan perdebatan itu selalu berlangsung antara para penganut paham tekstual-tradisional versus pengikut paham kontekstual-rasional. Meskipun tidak selalu atau sepenuhnya, akan tetapi para pengikut aliran pertama lebih menekankan argumen teks secara apa yang tersurat (literal). Sementara para penganut aliran kedua lebih memikirkan apa makna batin suatu teks. Seorang tekstualis lebih mengutamakan menggunakan tafsir dan menghindari ta’wil sejauh yang dapat dilakukan. Sedangkan seorang rasionalis sering menggunakan ta’wîl dan bahasa ‘majâz’ (metafora). Mereka mengambil sumber tekstual sepanjang masuk akal.
Perdebatan antara mereka pada awalnya menyangkut tema-tema teologi. Misalnya soal-soal apakah Tuhan mempunyai tangan, wajah, betis, jari-jari, bersemayam di singgasana dan hal-hal lain. Al Qur’an dan hadits menyebutkan dengan jelas mengenai ini. Misalnya : “Yad Allah Fawq Aydihim”( Tangan Tuhan di atas tangan mereka). “Wa Yabqa Wajhu Rabbika”(dan Abadilah Wajah Tuhan), dan “Al Rahman ‘ala al Arsy Istawa” (Yang maha Penyayang bersemayam di atas Arasy). Dua aliran di atas mengambil pandangan yang berbeda. Kelompok Tekstualis menyatakan semuanya menunjukan arti apa adanya: Tangan ya tangan, Wajah ya wajah, dan Bersemayam, ya duduk meski tidak sama dengan tangan, wajah dan duduk di atas singgasananya manusia. Tuhan selamanya berbeda dengan ciptaan-Nya. Sementara kelompok rasionalis, mengajukan makna lain: Kuasa, Eksistensi dan Mengawasi. Tiga isu ini hanyalah beberapa contoh belaka. Masih banyak isu lain dalam al Qur’an maupun hadits Nabi yang semacam itu. Perdebatan soal ini tak pernah selesai bahkan sampai hari ini dan mungkin sampai hari kiamat.
Imam Al Ghazali bilang: “meski Ahmad bin Hanbal, tokoh utama aliran tekstualis, menolak ta’wil atas kata-kata terebut, tetapi dia dalam beberapa hal terjebak dalam ta’wil, minimal pada tiga buah hadits. Pertama : “Al Hajar al Aswad Yamin Allah fi al Ardh (Hajar Aswad adalah tangan kanan Tuhan di bumi), “Qalb al Mu’min Baina ushbu’aini min Ashabi’ al Rahman”(hati orang yang beriman berada di antara kedua “Jari-jari” Tuhan Yang Maha Pengasih), dan “Inni Laajid Nafas al Rahman min Qibal al Yaman”(Sesungguhnya aku mendapati Diri Tuhan Yang Maha Kasih “dari arah kanan”).
Isu-isu tentang Sifat-Sifat Tuhan di atas, diakhiri oleh pernyataan Imam Malik bin Anas yang terkenal : “Al-Yad Ma’lum wa al-Kaif Majhul wa as-Sual ‘anhu Bid’ah” (Tangan memang jelas, tetapi bagaimana ia, tidak dapat diketahui dan mempersoalkan hal ini adalah bid’ah).
Perdebatan antara dua aliran juga terjadi dalam fiqh. Dalam konteks ini, perdebatan terjadi hampir dalam seluruh isunya. Istilah yang popular untuk dua kelompok ini adalah “Ahl al Hadits” dan “Ahl al Rayi”, atau ahli hadits dan ahli fiqh. Dalam bahasa Indonesia dua istilah itu biasa diterjemahkan kaum tradisional dan kaum rasionalis. Atas seleksi sejarah, para ahli fiqh yang masih eksis dan kuat menjadi empat, atau apa yang sering disebut “Empat Mazhab”. Para sarjana menyebut corak/warna masing-masing ; Abu Hanifah sebagai: “Imam Ahl al Ra’yi”.(Pemimpin fiqh Rasional). Malik bin Anas: “Imam al-Muhafizhin” (Pemimpin Fiqh Tradisional). Muhammad bin Idris al Syafi’i: “Imam Ahl al Adl wa al-Mutawassithin” (pemimpin Fiqh Moderat). Dan Imam Ahmad bin Hanbal: “Imam al-Mutasyaddidin” (Pemimpin Fiqh Fundamentalis). Mereka sering berbeda pendapat. Ini karena fiqh adalah pendapat pikiran, pemahaman orang terhadap suatu teks. Sepanjang ia merupakan pikiran orang, maka perbedaan merupakan sesuatu yang niscaya, karena setiap orang memiliki latarbelakang pengetahuan, kehidupan social, tradisi dan kepercayaan yang berbeda-beda. Hal paling menarik adalah meski mereka berbeda pendapat tetapi tidak saling memusuhi, melainkan mereka saling menghargai.
Peristiwa menarik
Perdebatan antara dua kelompok ini akan terus berlangsung kapan saja dan di mana saja, karena sepanjang sejarah manusia di manapun selalu ada dua kelompok hyang memahami teks secara literal dan substansial tersebut.
Tetapi ada dua peristiwa menarik mengenai perdebatan ini. Pertama, dalam sebuah acara pelatihan yang diselenggarakan Fahmina Institute, Cirebon, bertema: “Bagaimana memahami Islam”, salah seorang peserta menanyakan apa makna ayat al-Qur’an ini;
فأما من خفت موازينه فهو فى عيشة راضية. واما من خفت موازينه فأمه هاوية وما ادراك ما هية نار حامية
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangannya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.Dan adapun orang-orang yang ringan timbangannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?. (Yaitu) api yang sangat panas”. [Q.S. al-Qari’ah [101.6-11].
Membaca terjemahan literal atas ayat di atas, peserta yang kebetulan berbadan tambun, merasa gembira, karena dia merasa dijamin masuk surga. Sementara peserta yang berbadan kurus, bersedih hati, karena dikatakan akan masuk neraka. Tentu saja ini semua menurut mereka tidak masuk akal. Ya benar, memang tidak masuk akal, karena Tuhan tidak akan menilai manusia dari aspek wajah dan tubuh seseorang, melainkan pada hati dan tindakannya.
Peristiwa kedua terjadi di sebuah negeri di Arabia. Perdebatan berlangsung antara dua orang ulama terkemuka yang berbeda aliran berpikirnya. Yang satu dikenal panganut aliran tekstualis. Dia seorang alim, hapal banyak hadits, sumber rujukan dalam fatwa keagamaan masyarakat dan pemerintah Saudi Arabia, tetapi ditakdirkan tuna netra (tidak bisa melihat). Sementara yang lain adalah penganut rasionalis, juga alim, cerdas, dan menguasai keilmuan konvensional. Mereka berdebat soal pemaknaan teks. Perdebatan berlangsung sengit dan panjang. Masing-masing mengemukakan semua argumen keilmuan yang dimiliki.
Perdebatan kadang diliputi emosi. Sang rasionalis tampaknya sedikit “jengkel” dengan tuduhan-tuduhan kasar lawannya. Dia kemudian melihat celah yang bisa mematikan argumen pandangan sang Syeikh yang tekstualis itu. Dia lalu menanyakan: ”menurut anda, apa makna kata-kata Tuhan dalam al-Qur’an ini:
ومن كان فى هذه الدنيا أعمى وهو فى الاخرة أعمى وأضل سبيلا
Makna literalnya adalah :”dan barangsiapa yang buta di dunia ini, maka di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”. (Qs. Al-Isrâ’ [17]; 72):
Mendengar pertanyaan ini sang tekstualis yang buta itu tidak bisa menjawab, dia membisu seribu basa. Pertanyaan itu benar-benar menyinggung dirinya yang memang buta itu, meski tidak dimaksudkan untuk itu.
Betapapun perdebatan ini mungkin dianggap konyol, penuh emosi dan tidak mengenakkan, akan tetapi hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa teks tidak selalu bisa dipahami secara apa adanya melainkan perlu dita’wîl, diinterpretasikan oleh nalar agar dapat dipahami dengan benar. Ayat-ayat al-Qur’ân seperti ini sangat banyak. Tuhan tentu berharap agar Kata-kata-Nya dimengerti dengan mendalam, karena di dalamnya tersimpan kekayaan nilai-nilai kemanusiaan yang agung.
Saya sungguh tidak bermaksud mengunggulkan satu atas yang lain, karena dua cara pemahaman atas teks tersebut bisa digunakan. Saya kira menarik apa yang dikartakan Ibnu Rusyd al-Hafid (w. 1198), filosof, ahli fiqh besar bermazhab Maliki:
وان كانت الشريعة نطقت به فلا يخلو ظاهر النطق ان يكون موافقا لما ادى اليه البرهان فيه او مخالفا. فإن كان موافقا فلا قول هنالك, وان كان مخالفا طلب تأويله
“Teks-teks agama ada yang sejalan dengan akal pikiran ada yang (tampaknya) tidak. Jika sejalan, maka tidak ada masalah,tetapi jika (tampaknya) bertentangan dengan nalar, maka perlu diinterpretasi”. (Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, Markaz Dirasah al-Wahdah al-arabiyyah, Beirut, Cet. I, 1997, hlm. 96-97).
Muantul
BalasHapus