Minggu, 01 Mei 2011

Sapa Nandur, Ngundhuh

Dalam sebuah artikel di Kompas -Minggu,1 Mei 2011-  berjudul "Mencumbu Sarang Angin",yang mengupas tentang rumah Kang Sobari (seorang budayawan) banyak sekali pelajaran hidup yang di ambil beliau dari rumah yang ndhelik dari keramaian kota. Ada hal yang menarik untuk di kupas dari tulisan singkat di Kompas ini.di antara nya ialah sebuah cerita dari Kang Sobari bahwa  dalam sebuah kesempatan saat memberikan petuah atau pesan hidup ke putri-putri nya.Beliau berpesan:"Urip iku beja-cilaka,ala-becik,kabeh mung methik wohing pekerti. Sapa gawe, nganggo. Sapa nandur,ngundhuh.Supaya sarwa becik ,mula aja gawe kapitunaning liyan". (Hidup itu untung-celaka,buruk-baik,semua hanya memetik buah perbuatan sendiri.Siapa berbuat ia bertanggung jawab,siapa menanam, menuai.Supaya semua  ya baik,jangan berbuat hal-hal yang merugikan orang lain).

Begitulah petuah yang biasa di ajarkan oleh leluhur, orang tua, dan para sesepuh kita kepada generasi selanjut nya. Rasa nya petuah seperti itu akan selalu relevan untuk selalu di ajarkan dari generasi ke generasi berikut nya. Demi kelangsungan peradaban manusia yang berkeadaban dan berkemanusiaan. Apa lagi kalau kita melihat prilaku kebanyakan dari kita yang akhir-akhir sudah tidak melihat lagi tatanan dan pakem hidup yang semestinya, apakah perbuatan nya itu merugikan orang lain atau tidak?.

Mari kita tengok sebentar, bagaimana para teroris yang selalu membuat keresahan di tengah masyarakat, apa lagi kalau sampai perbuatan mereka itu sudah mengakibatkan kematian jiwa seseorang, maka yang terjadi selanjut nya ialah, seorang istri menjadi janda,seorang anak menjadi yatim dan orang tua menjadi tak beranak lagi. betapa banyak pihak yang di rugikan dari perbuatan yang di klaim sebagai misi suci menuju surga. Benarkah perbuatan itu memang bisa menghantarkan menuju surga,tidak ada yang bisa memastikan dan tidak ada yang tahu.

Rasa nya mayoritas dari kita, mulai dari pejabat, politisi,pekerja,dan orang biasa seperti kita yang awam, akhir-akhir ini sudah mulai tidak hirau dengan petuah-petuah adiluhung yang bisa menjadi penuntun jalan hidup kita. Oleh sebab itu yang terjadi adalah saling tikam, saling serang dan saling merugikan satu sama lain. Sedikit-sedikit kita mudah tersinggung, mudah menghujat, dan mudah memusuhi, bahkan mencelakai, dengan tanpa rasa takut apakah perbuatan kita itu bisa berbalik kepada diri kita lagi apa tidak.

"Sapa nandur, ngundhuh" , Begitulah pesan yang terkesan seperti membenarkan ada nya hukum karma. Petuah ini sama makna dengan unen-unen sederhana di Jawa:"Ojo njiwet, yen ora gelem di jiwet". (Jangan mencubit kalau tidak mau di cubit). Kalau kita sambung kan ke segala bentuk tindakan dan prilaku kita sehari -hari, bisa saja kita kiyaskan dengan kata: Ojo ngebom yen ora gelem di bom. Ojo mateni yen ora gelem di pateni. Ojo menthung yen ora gelem di penthung.Jangan mencelakakan orang lain kalau tidak mau di celakakan, Jangan menikam teman politik kalau tidak mau di tikam, dst.Kalau mind set diri kita masing-masing sudah menyadari hal ini, maka kehidupan kita sehari-hari akan menjadi sebuah kehidupan yang harmoni,damai,dan saling menghargai, karena kesadaran diri kita bahwa perbuatan buruk yang kita lakukan, bagaimanapun akan kembali lagi kita pertanggung jawabkan baik instant di dunia dan kelak di akherat nanti.

Tanpa harus dengan menggunakan dalil-dalil agama yang hanya di ketahui oleh para kiai, ustadz dan mereka yang tahu agama saja.Rasa nya perbuatan mencelakai orang lain, itu sudah pasti tidak baik, peradaban manapun memastikan itu.Oleh sebab itu mari kita melakukan perbuatan yang baik, sekecil dan seremeh apapun di mata kita. karena kebaikan itu adalah bagian dari manifestasi keimanan. Karena dalam Islam perbuatan baik itu banyak sekali cabang-cabang nya dan di anggap menjadi bagian dari tanda penunjuk keimanan, sebagaimana di sabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. "Bahwa menyingkirkan kotoran dari jalan adalah sebagai selemah-lemah nya iman".
Kalau menyingkirkan kotoran dari jalan saja di anggap sebagai bagian dari iman, maka perbuatan baik yang jauh lebih bernilai dalam kemanusiaan  sudah pasti akan lebih di hargai sebagai bagian dari bukti keimanan, dan tidak perlu repot-repot melakukan teror yang justru kontra produktif dari maqasid syariah (maslahat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar