Senin, 09 Mei 2011

Pesantren Tanpa Nama

Pondok pesantren Tradisional yang banyak tersebar di berbagai penjuru Nusantara, terutama di tanah Jawa, yang mayoritas berafiliasi di bawah bendera Nahdlatul Ulama' adalah lembaga pendidikan tertua yang ada di negeri ini. Para pengasuh yang menjadi mua'ssis setiap pesantren, itu mayoritas juga pendiri organisasi terbesar di dunia yaitu NU. Misal nya pendiri pesantren Tebuireng adalah Mahaguru KH.Hasyim Asy'ari yang tidak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama'.

Kalau kita perhatikan, justru cikal bakal pesantren di negeri ini rata-rata tidak memberi nama pesantren nya dengan nama khusus apalagi menggunakan nama yang berbahasa arab. Kita ambil contoh misal nya, Pesantren Tebuireng, Pesantren Langitan, Pesantren Lirboyo, Pesantren Termas, Pesantren Girikusumo (Demak), Pesantren Tegal rejo (Magelang), Pesantren Balekambang (Jepara) dll. Rata-rata tidak ada tidak menggunakan nama berbau Arab.

Mungkin sebagian ada yang mencoba menggunakan nama dengan bahasa Arab, seperti Pesantren Alanwar (Sarang) atau Pesantren Raudlatul mubtadiin (Balekambang) dll, namun bagi masyarakat kebanyakan lebih familier menyebut nya dengan nama tempat nya, misal nya lebih suka menyebut Pesantren Al anwar dengan sebutan "Pesantren Sarang", bukan Alanwar. Begitu juga kalau mau menyebut nama Pesantren Raudlatul mubtadiin mereka lebih mudah menggunakan sebutan "Pesatren Balekambang".

Ada banyak alasan kenapa para Kiai pada saat itu lebih suka menggunakan nama desa atau kampung nya untuk menyebut nama pesantren nya. di antara nya ialah demi membumikan pesantren, agar lebih menyatu menjadi ruh dari kampung itu, di samping untuk memudah kan orang mengingat pesantren itu. Karena memang rata-rata pesantren itu datang belakangan setelah kampung itu ada sebelum nya, Bahkan kebanyakan penentuan lokasi pesantren itu bukan sembarangan, tapi di tentukan dari sebuah ritual Istikharah yang di lakukan oleh Sang Kiai sebelum menentukan di mana dia harus menetap dan mendirikan pesantren nya.

Sikap terbuka (inklusif), merangkul masyarakat, dan guyup dengan warga ini menjadi sebuah strategi awal agar pesantren bisa di terima oleh masyarakat setempat. Bagaimana mungkin pendatang baru yang masih di anggap asing kemudian tiba-tiba semena-mena mengklaim salah, sesat, dosa, dan masuk neraka terhadap masyarakat yang mau di dakwahi nya?... rasa nya kalau seandai nya para pendiri pesantren dulu seperti itu, niscaya Islam tidak menjadi besar di Nusantara. Karena masyarakat akan buru-buru berpaling muka, menutup pintu rumah mereka masing - masing, dan menolak dakwah Islamiyah yang di lakukan oleh para Wali saat itu.

Manuggaling pesantren dengan kampung setempat, kemudian menjadi sebuah keistimewaan tersendiri. Istimewa karena para kiai saat itu legowo untuk menerima dan meleburkan diri tanpa nama (formal) untuk pesantren nya,demi bisa di terima oleh warga. Malah kebanyakan akhir nya kemanunggalan nama itu bukan hanya sekedar di nama pesantren saja, namun juga di gunakan sebagai nama belakang (nisbat/nisby) bagi para kiai itu, seperti nama Mbah Hadi Girikusumo, Mbah Mad watu congol, Mbah Maksum Krapyak dll. Dan para kiai itu tidak merasa terhina di nisbatkan ke sebuah kampung kecil misal nya namun malah menjadi nama kebanggaan.

Sikap-sikap legowo, untuk manuggal dengan masyarakat inilah sekarang yang jarang kita temui dari pada da'i (pendakwah) Islam sekarang, justru terkadang prilaku mereka malah terkesan elitis, eksklusif dan tercerabut dari adat istiadat masyarakat setempat, dan berusaha membuat lelakon yang malah kadang di rasa asing oleh masyarakat yang akan di dakwahi nya. Seperti yang di lakukan oleh sebagian teman dari Ikhwan atau HTI , mereka menyebut bahwa Tahlilan itu Bid'ah, yang boleh itu adalah wirid ma'tsurat dari Nabi Muhammad SAW.Tapi setelah di tunjukkan ke masyarakat ternyata isinya ya sama saja yaitu Tahlil, Tahmid, Takbir dll.

Apalah arti nya memiliki nama berbahasa arab, misal nya. tapi kalau tidak di terima oleh masyarakat yang akan di dakwahi, justru ini akan menghambat misi dakwah yang akan di laksanakan. Maka lebih baik tidak bernama, dan melebur dengan nama kampung setempat asalkan bisa di terima dan sukses misi dakwah nya. Malah ada banyak Kiai yang tidak suka di sebutkan nama nya dalam catatan sejarah, sebagaimana di ceritakan oleh Almukarram Habib Luthfi Bin Yahya (Pekalongan): Bahwa saat ingin mendirikan NU, dulu Hadhratu syaikh KH.Hasyim Asyari menemui beberapa orang Kiai  Khas, untuk memohon restu dan minta idzin mendirikan NU setelah di Istikharahi oleh para Ulama di Haromain, beliau di suruh sowan ke Habib Hasyim bin Umar bin Toha Bin Yahya Pekalongan, dan sowan ke Mbah Kholil Mbangkalan, Saat KH Hasyim Asyari sowan beliau berdua mengiyakan dan merestui berdiri nya NU, sembari dawuh:"KH.Hasyim asyari silahkan laksanakan niatmu untuk membentuk wadah ahlussunah wal jamaah, saya rela tapi tolong nama saya jangan di tulis".

Beginilah keikhlasan para wali dulu dalam menjalankan tugas nya berdakwah di tanah Nusantara, mereka rela nama nya melebur di tempat tinggal nya, seperti Mbah Khalil Bangkalan ini, bahkan meminta tidak di catat dalam sejarah. Hal-hal seperti ini perlu di tiru dan di contoh oleh para da'i, kiai, ustadz dan para guru. Hal ini penting di tekankan di tengah suasana yang materialistik seperti sekarang ini. Yaitu apa-apa di hargai dengan materi dan uang, sampai-sampai dakwah yang harus nya steril dari niat materi seperti ini, sekarang juga sudah terjangkiti virus materialistik, "ada uang kami datang, tak ada uang kami tak datang". Begitu kira-kira kata yang ada di benak para da'i sekarang.

Semoga kita bisa melestarikan sikap tawadlu' dan ikhlas yang ada dalam diri para leluhur kita,.. Amin ya Rabbal alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar