Sabtu, 07 Mei 2011

Menjaga Toleransi

"Haleloyaa... Haleloyaa... Haleloyaa..." Sayup-sayup lagu itu aku dengar saat menunaikan jamaah shalat Jum'at  (6-Mei-2011) di Sebuah masjid milik Yayasan Dharma Karya di daerah Melawai Jakarta Selatan.Bukan aku saja yang mendengar lantunan lagu itu, bahkan seluruh jamaah yang hadir saat itu juga mendengar nya. Sampai pada saat di kumandangkan Iqamat pertanda Shalat Jum'ah mau di tunaikan setelah Khatib selesasi menjalankan tugas nya dalam Khutbah Jum'at yang ke dua, lagu itu semakin terdengar keras, karena suasana di masjid saat itu hening , dan hanya suara imam saja yang terdengar lewat pengeras suara.

Memang posisi masjid ini berada di dalam Komplek sekolahan, berdekatan dengan dua sekolahan Kristen dan satu gereja. Jadi segala suara yang keluar dari lembaga non muslim ini ketika di teriakkan dengan Toa maka akan terdengar dari dalam Masjid,sebalik nya ketika di dalam Masjid ada acara seperti Shalat Jum'at dll, maka akan terdengar juga dari kedua lembaga pendidikan Kristen dan gereja  itu. Begitu juga saat kemarin kami melaksanakan Shalat Jumat di Masjid Alfalah ini. Di samping mendengarkan dengan khusuk petuah dari khatib yang kebetulan menjelaskan tentang akhlaq Nabi Muhammad SAW. terhadap tetangga, kami para jamaah juga sayup-sayup mendengar dendang lagu Haleloya, jadi seakan-akan suara khatib di beri back sound dengan lagu haleloya.

Saat itu kami hanya senyum-senyum ringan mendengar lagu itu,tidak pernah terlintas dari diri kami untuk merasa terusik, dan kemudian melakukan hal yang negatif, sungguh sikap yang harus di lestarikan. Di saat menghadapi realitas perbedaan, maka senyum adalah kunci paling ampuh untuk meredam ketidak sepahaman. Bisa di bayangkan seandai nya saat itu yang berkhotbah adalah orang (khatib) yang berwatak suka memprovokasi bisa jadi setelah Shalat Jum'at yang terjadi adalah penyerangan atau kekerasan atas nama agama yang tidak perlu (Na'udzu billah min dzalik).Itu bukan tidak mungkin karena seperti api, sumbu nya sudah ada (bagi kelompok islam yang menganggap itu sebagai api)tinggal di sulut maka api akan mudah menyala. Namun sekali lagi saat itu toleransi masih ada di dada kami masing-masing, dan semoga akan selalu lestari.

Dari kejadian singkat itu, aku lalu menyimpulkan bahwa sebagai bangsa Timur kita sebenar nya masih sangat toleran terhadap perbedaan, entah itu perbedaan agama, suku,ras, pandangan politik dll. Perbedaan bisa menyebabkan kita menjadi bermusuhan dan saling menyerang hanya ketika di bakar oleh pemahaman sebagian khatib, da'i atau penceramah yang "sempit". Oleh sebab itu kita harus hati-hati menentukan siapa sajakah yang layak kita dengar khutbah,ceramah,dan dakwah nya. Kepandaian kita untuk menentukan pilihan siapa yang akan kita jadikan panutan menjadi penyebab damai dan rusuh nya negeri ini.Hanya kita sajalah yang bisa menentukan masa depan negeri ini.

Menjaga toleransi adalah "kata kunci" damai nya negeri ini.Tidak harus dengan tindakan yang rumit-rumit dan idealis, cukup dengan perilaku yang sederhana, seperti senyuman ringan saat sedang berbeda,sebagaimana yang kami lakukan di saat itu. Walaupun kami sedang melakukan ritual yang paling suci (shalat Jum'at), dan sedikit terusik dengan nyanyian-nyanyian yang non islami, tapi kami tetap tersenyum, toh nyatanya shalat kami selesai juga,dan lengkap syarat rukun nya. oleh sebab itu tersenyumlah, dan bahkan Kanjeng Nabi pun menganggap nya sebagai ibadah. "Senyum itu ibadah".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar