Jumat, 29 April 2011

Takayyu' (berlagak kiyai) atawa Igtismaas (Ketergusmusan)

Pagi hari, dua orang tamu menyapa santri,
“Mau sowan Kyai, Kang”.
Santri membawa tamu-tamu itu ke ruang tamu saya.
“Dari mana, Pak?” tanya saya setelah berbalas salam.
“Dari Tuban”.
Tamu merapikan duduk.
“Begini, Kyai, kami ini dari Panitia Rajabiyyah Jamaah Masjid Rengel, Tuban”, yang kelihatan lebih tua mengawali, “kami dan kawan-kawan jamaah sepakat ingin mengundang Kyai untuk memberi ceramah pada pengajian Rajabiyyah kami yang akan datang”.
“O…”, nada suara saya sengaja saya bikin rileks dan sedikit acuh tak acuh, padahal batin saya berbunga-bunga — ternyata saya mulai laku juga ceramah di tempat jauh, “kapan itu ya?”
“Waktunya terserah Kyai saja. Cuma, kalau bisa sekitar Rajab akhir, ‘gitu…”
Saya berlagak merenung sejenak. Tamu itu melirik Ji Sam Soe yang tergeletak diatas meja.
“Sebentar, saya lihat jadwal saya dulu ya”, saya bangkit dari kursi.
“Saya juga mohon ijin keluar sebentar, Kyai”, yang lebih muda berkata.
“Mau kemana?”
“Ada perlu sedikit”.
“Oh… ya”.
Saya beranjak ke dalam, si anak muda keluar rumah.
Ini cuma aksi. Saya harus memberi kesan kepada mereka bahwa saya sudah punya kesibukan yang cukup padat. Dari kamar saya ambil komunikator rusak yang walaupun ditempeli batere dobel tak akan menyala.
Kembali ke ruang ramu, dua bungkus Ji Sam Soe yang baru telah diletakkan diatas meja.
“Rokok, Kyai”, si anak muda menyilahkan.
“Wah, repot-repot?”
“Enggak kok…”
“Ya, ya. Terimakasih, terimakasih”.
Saya buka komunikator rusak itu dan memencet-mencet tombolnya seolah memeriksa skedul. Mereka menunggu dengan sabar.
“Wah, tanggal 25 keatas sudah penuh ini”, kata saya. Penuh apanya? Wong saya nggak punya kerjaan kok.
“Ya… terserah Kyai saja lah…”
“Kalau tanggal 21 gimana ya? Malam hari ‘kan?”
“Ya, Kyai, ndherek mawon…
Kami sepakati hari Anu malam Anu tanggal 21 Rajab. Si tua mengeluarkan kertas dan pulpen untuk mencatat tanggal itu. Mereka kelihatan lega sekali.
“Mari lho, silahkan diminum…” saya menawarkan teh manis yang sudah mulai dingin.
Ketika bersalaman untuk pamit, si tua menempelkan amplop ke tangan saya. Itu porsekot untuk memastikan saya benar-benar hadir pada waktu yang disepakati.
“Terimakasih, terimakasih. Mudah-mudahan tak ada udzur…”
Di ambang pintu, si tua berhenti sejenak.
“Mohon maaf, Kyai”, katanya, “nama lengkap panjenengan itu Ahmad Mustofa Bisri atau Muhammad Mustofa Bisri?”
“Lho?”
Matik aku.
“Lho?”
Wah… waaaah…. matik aku!

(Di ambil dari  TerongGosong.com)

Ulama-ulama Indonesia Di Haromain:Embrio NU di Indonesia

Surel Cetak PDF
Banyak diantara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.
Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin ber-inovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.
Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid  beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon.
Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah  Kiai Nawawi al Bantani.
Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi.
Syekh Abdul Qadir Al Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia.
Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid muridnya lagi di Mekah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhmmad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati.

Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun.
Beliau adalah  muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu darimana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari.
Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khsusunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal  itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.

Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya  di istiharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan jalan terus kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati  Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai”.
Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; ‘mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu  itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk,  Habib Hasyim langsung berkata, ‘Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah  Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis’.
Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.’ Kata Kiai Hasyim Asy’ari ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadluknya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.
Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal  yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? La ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadrotu Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan. Hly.net/ Nzr/Tsi/update-inkanzus)

Senin, 25 April 2011

Filosofi Udheng dan Gelung Bagi Orang Jawa

Dalam mengenakan pakaian adat Jawa,tampak sekali laki-laki memakai udeng (iket) yang berarti bahwa laki-laki di pandang lebih mudeng (paham) tentang hidup di banding perempuan. Sebagai contoh ialah udeng iket yang di pakai oleh Ajisoko yang di gelar dan di tarik oleh Prabu Dewoto cengkar yang tidak habis-habis saat di tarik dari keraton sampai samudera laut kidul,dan akhir nya bisa menjadi senjata yang justru untuk mengalahkan nya.

Dari tamsil itu bisa di ambil hikmah bahwa pemikiran pria itu jauh lebih bisa mulur mungkret dalam mengatasi masalah dan problematika hidup. Mulur mungkret juga bisa di jadikan simbol kesejatian laki-laki ketika bersenggama dengan perempuan, alat kelamin laki-laki akan tajam dan keras melebihi apapun pada saat nya, namun juga akan lumpuh tak berdaya ketika tidak sedang di gunakan. Hal ini juga merupakan gambaran  keperkasaan laki-laki yang dalam tradisi pusaka orang jawa di simbolkan sebagai curigo (keris).

Kemudian dalam tradisi Jawa, wanita mengenakan gelung dari kata gulung, maksud nya rambut wanita yang di gulung dan di ikat berbentuk bulatan, hal ini menggambarkan bahwa rasa wanita yang selalu berputar-putar dengan rasa yang dalam, atau bisa di simbolisasikan untuk kelamin wanita yang dalam posisi nya dapat di gelar dan di gulung (melebar-menyempit), bukti nya ketika bersenggama maupun melahirkan anak,alat vital tersebut dapat menunaikan fungsi nya sebaik-baik nya (di gelar), namun pada saat alat kelamin itu tak di gunakan akan di gulung (menyempit) kembali,dan rapi dengan sendiri nya.


Untuk mengencangkan ikatan konde biasa nya perempuan Jawa menancapkan tusuk konde,hal ini menunjukkan bahwa untuk menciptakan agar alat vital wanita menjadi kuat, maka perlu di gunakan tusuk konde. Tusuk konde adalah gambaran dari tancapan alat vital laki-laki  yang sering di ungkapkan sebagai : "curigo manjing rongko-rongko manjing curigo".

(Di sarikan dari Falasafat Hidup Jawa hal. 54-55 -Suwardi Endraswara- penerbit Cakrawala)

Sabtu, 23 April 2011

Pesantren Bukan Sarang Teroris

Melihat fenomena yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik yaitu aksi teror yang di lakukan oleh sekelompok kecil dari saudara-saudara kita yang nekat untuk bunuh diri, maka ada kesan dari  media massa bahwa pesantren di bawa-bawa untuk di libatkan sebagai pihak yang di persalahkan. Perlu di tarik benang merah dalam hal ini agar masyarakat yang sudah kadung familier dengan lembaga pesantren tidak merasa takut dengan dunia pesantren.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di bumi Nusantara, memiliki sejarah panjang dalam ikut mencerdaskan warga negara Indonesia, baik itu pesantren tradisional maupun pesantren modern. Dan perlu di lihat bahwa cikal bakal pesantren ialah lembaga nonformal, yang di mulai dari sebuah pengajian-pengajian yang di selenggarakan oleh para Kiai kampung untuk menyebarkan agama Islam di rumah mereka masing-masing. Kemudian karena  keterbatasan tempat di rumah mereka, maka bersama warga di lingkungan masing-masing membuat sebuah tempat pemondokan secara swadaya untuk menampung santri yang ikut belajar di sana oleh sebab itu dinamakan dengan "pondok" yang di huni oleh para santri.

Karakter yang di kembangkan oleh para Kiai dan Santri dalam memahami Syariat Islam di pesantren ialah yang berwatak moderat,toleran,tasamuh,tawasuth,tawazun, dan santun, hal ini bisa di lihat dari di pilih nya Madzhab yang di kembangkan oleh para Ulama di Indonesia yang lebih memilih Madzhab Syafiiyyah. Karena di nilai madzhab inilah yang paling cocok dengan karakter bangsa Indonesia, dengan corak faham yang moderat.Begitu juga dalam hal Aqidah, kalangan pesantren lebih suka menggunakan faham Ahlussunnah wal jamaah yang di rumuskan oleh Asy'ariyyah dan Al maturidiyyah, karena di nilai sebagai faham yang moderat di antara dua kutub faham aqidah yang ekstrim.

Jadi kira nya salah besar bila ada pihak-pihak yang mencurigai pesantren sebagai sarang teroris, karena pesantren itu sendiri melalui organisasi yang mewadahi nya yaitu NU (Nahdlatul Ulama) telah membuat komitmen untuk menjadikan NKRI sebagai bentuk final dari bentuk negara yang ideal. Mungkin kalau ada kelompok yang ikut menggunakan nama pesantren namun ijtihad nya (baik di bidang aqidah, ubudiyyah dan politis) tidak sesuai dan berseberangan dengan dunia pesantren yang sesungguh nya maka mereka bisa di sebut sebagai kelompok yang menyalah gunakan dan membajak nama pesantren.

Oleh sebab itu perlu di cari cara untuk mengantisipasi penyalah gunaan dan pembajakan nama pesantren seperti ini, untuk menghindari stigma yang akan menciderai nama baik pesantren yang memang berkarakter moderat, bukan hanya kepada sesama muslim bahkan kepada nonmuslim sekalipun, pesantren selalu mengajarkan toleransi dan moderasi kepada seluruh warga nya. Di antara cara yang bisa di tempuh ialah dengan melakukan silaturahmi antar pesantren secara intensif, untuk selalu menukar informasi yang up to date terkait perkembangan dunia di luar pesantren, yang selalu berubah bukan lagi dengan hitungan hari, jam, atau menit, bahkan setiap detik selalu berubah.

Begitu juga, agar dunia pesantren juga harus konsisten dengan tanggung jawab nya sebagai lembaga "tafaqquh fiddin". Jangan sampai justru malah tertarik ke dunia politik yang akhir nya memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren dan akhir nya mereka menjatuhkan pilihan ke lembaga-lembaga yang "seakan-akan" pesantren, yang sengaja untuk menggaet kalangan yang sudah tidak percaya lagi kepada pesantren yang "original". Konsistensi penyelenggara pesantren (dalam hal ini pengasuh nya) sangat di butuhkan untuk  menjaga nama baik pesantren yang bersangkutan.

Syahwat politik memang sulit di bendung, apa bila selalu di iming-imingi oleh kalangan politisi yang tidak bertangung jawab. Oleh sebab itu di butuhkan juga sebuah kerjasama antara penyelenggara negara (umaro') dan penyelenggara agama (Ulama) untuk selalu bersinergi, karena sebagaimana kita tahu, bahwa syahwat politik yang menjebak pesantren biasanya berkaitan dengan masalah finansial. Bukan demi pribadi memang, tapi untuk kepentingan pesantren, misal nya untuk pembangunan sarana sekolah, asrama dan lain nya. Hal ini di karenakan oleh acuh nya pemerintah kepada pesantren, dan akhir nya mereka mencari sendiri sumber dana yang bisa menunjang berlangsung nya eksistensi dan keberadaan pesantren.

Ketika hal ini terjadi maka pesantren menjadi kecolongan dengan ketidak konsistenan nya. pada hal di satu sisi lembaga-lembaga yang "membo-membo" dengan pesantren, karena di tunjang dana dari Timur Tengah,maka mereka menjadi semakin eksis dengan ajaran ekstrim nya. Oleh sebab itu perlu di cari solusi yang tepat untuk mengantisipasi hal ini. pasti ada banyak cara yang sesuai dengan ijtihad masing-masing pengasuh dengan lingkungan pesantren nya.

Rabu, 20 April 2011

JAMUS KALIMOSODO

Dalam lakon pewayangan yang sering di pentaskan oleh para dalang, kita sering mendengar sebuah istilah  untuk "pusaka" yang di gunakan oleh Yudhistira atau Puntodewo untuk mengalahkan musuh-musuh nya. Jamus Kalimosodo adalah sebuah istilah yang di karang oleh Kanjeng Sunan Kalijogo selaku pengarang cerita dalam dunia wayang. "Jamus" arti nya ialah suci dan "Kalimosodo" ialah kalimat syahadat yang menjadi pondasi aqidah keislaman seseorang, namun saat itu agar mudah di terima oleh masyarakat Jawa  (Nusantara) maka Kanjeng Sunan Kalijogo mengadaptasi nya dalam sebuah cerita dan pakem lakon pakeliran wayang.

Dalam cerita pewayangan Yudhistira di ceritakan sebagai sosok yang  memiliki darah putih, arti nya suci karena sudah memiliki sebuah senjata yang berupa "Kalimat Syahadat" (Kalimosodo) yang menjadi iftitah (permulaan) seseorang untuk menuju tingkatan kesucian hidup berupa rukun Islam. Selain Yudhistira (yang memiliki ageman Jimat kalimosodo) dalam cerita pewayangan, dia juga memiliki beberapa saudara lagi yaitu: Werkudoro, Janoko, Nakulo dan Sadewo.Keempat saudara itu menjadi perlambang dari rukun Islam yang empat  setelah Syahadat yaitu Sholat,Puasa,Zakat, dan Haji. Dan genap nya mereka di sebut sebagai Pandhowo untuk melambangkan rukun Islam yang lima.Kelima tokoh wayang itu adalah gambaran pelaksanaan agama Islam secara utuh,maka pandawa adalah simbol kesatuan dan kemanunggalan ritual agama Islam yang tak dapat di pisah-pisahkan.

Dalam tradisi Islam Jawa kita sering melihat upacara sekatenan, yang sampai sekarang masih di uri-uri, sebagai sebuah tradisi yang di warisi dari para leluhur, sekatenan awal nya adalah sebuah kisah yang menggambarkan tentang kejadian saat Kanjeng Sunan Kalijogo mengumpulkan masyarakat sekitar masjid Demak untuk mengenalkan agama Islam. Pada saat itu Kanjeng Sunan mengumpulkan mereka dengan tabuh-tabuhan gamelan lengkap sebagai media penarik warga, setelah mereka penasaran maka mereka di perbolehkan masuk untuk melihat  "Tontonan gamelan sekaten" asal mereka mengucapkan sekaten (syahadatain) maksud nya ialah dua syahadat yaitu : syahadat tauhid dan syahadat rasul.

Setelah berikrar dengan sekaten   (dua syahadat) lalu mereka di ajari oleh Kanjeng Sunan untuk cuci muka, tangan, kepala, telinga dan kaki, yang sebenar nya ialah wudlu, namun itu di kenalkan sebagai sarat untuk bisa masuk masjid Demak kalau mau menonton Gamelan dan wayang yang di pentaskan di pendopo masjid, oleh sebab itu kalau kita mengunjungi masjid-masjid peninggalan zaman Walisongo dulu maka kita akan menemukan kulah pawudlon (kulah untuk wudlu) yang berada di halaman masjid, dan hanya berbentuk kolan lebar, tidak seperti sekarang yang mana tempat wudlu di bangun secara modern dengan kran air yang mancur.

Jadi antara dua istilah Jamus kalimosodo dan sekatenan itu memiliki akar sejarah yang sama-sama bersumber dari Walisongo dulu, kalau Jamus Kalimosodo adalah sebuah lakon wayang yang di adaptasi dari syahadat dan rukun Islam,tapi kalau sekaten adalah sebuah istilah upacara yang di adaptasi dari sejarah masuk Islam nya masyarakat Jawa. Dan sama-sama bersumber dari syahadat yang menjadi pintu masuk (madkhal) bagi seseorang yang ingin  masuk Islam.

Kalau kita bawa ke issue kontemporer sekarang berkaitan mengenai Syahadat ini yang menjadikan sebagian dari umat Islam menkafirkan kelompok Islam yang lain, maka ada beberapa hal yang bisa kita ambil hikmah dari sejarah kalimosodo dan sekaten ini. Yang di antara nya ialah adaptasi yang di pakai oleh Sunan kalijogo untuk mengenalkan syahadat walaupun menggunakan istilah yang kejawa-jawaan, namun di maklumi oleh para Wali (baca ulama') lain nya. saya tidak bisa membayangkan bagaimana sikap yang akan di lakukan oleh FPI terhadap langkah Sunan Kalijogo ini bila mereka hidup semasa. Bisa jadi Sunan Kalijogo di kafirkan dan di anggap sesat atau di anggap melecehkan Islam karena telah merubah istilah syahadat dengan Kalimosodo atau sekaten bahkan di sini  rukun Islam di simbolisasikan dengan beberapa nama lakon wayang seperti yang telah di sebutkan di atas.

Oleh sebab itu kita sebagai muslim yang baik tentu nya harus bisa mengambil hikmah dari sikap para wali (ulama') selain dari Sunan Kalijogo yang toleran terhadap langkah dan ijtihad dalam metode dakwah yang di lakukan oleh Sunan Kalijogo. Sehingga Islam menjadi agama yang mudah di terima oleh warga Jawa (baca Nusantara) yang saat itu belum kenal Islam sama sekali.

Bener Neng Ora Pener

Salah satu unen-unen atau tetembungan yang sangat di pegang teguh oleh orang Jawa ialah:"Bener neng ora pener", yang dimaksud dari tetembungan ini ialah bahwa segala sesuatu yang di anggap benar atau kebenaran itu tidak selama nya tepat kalau tidak di sampaikan dengan cara yang tepat, dan melihat situasi dan kondisi yang melingkupi nya.Misal nya saat kita mau menegur seseorang yang melakukan kesalahan, maka sudah di anggap "bener", kalau kita tegur dia,neng ora pener kalau hal itu di sampaikan di depan orang banyak dan halayak ramai umpama nya, sehingga menimbulkan rasa malu atau wirang pada orang yang di tegur.

Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari kita diharapkan bisa angon mongso arti nya, kita di harapkan agar selalu bisa menyesuaikan diri dalam lingkup ruang dan waktu, dan bisa tau diri, karena masyarakat yang di hadapi itu bentuk nya bermacam-macam, baik tradisi, budaya, gaya, dan tata sosial nya. Dalam istilah jawa nya ialah "Seje uwong seje omong, seje kulit seje anggit" (Beda orang beda ucapan,beda kulit beda pikiran nya).

Cara-cara seperti ini tidak hanya di gunakan dalam kehidupan keseharian saja, namun dalam hal kegiatan dakwah pun orang Jawa lebih suka selalu melihat situasi dan kondisi, sebagaimana dulu yang telah di praktekkan Walisongo, dan para leluhur pejuang Islam di tanah Jawa.Tidak berarti mentang-mentang yang di kenalkan adalah "agama kebenaran" yaitu ISLAM kemudian mereka (Walisongo) kemudian menggunakan cara-cara yang radikal, melawan arus, dan kontroversial.  Dalam pandangan orang Jawa hal ini di gambarkan dengan unen-unen: "Ketok nangeng ojo nyolok" (Kelihatan tapi jangan mencolok) artinya apapun perbuatan kita boleh kelihatan seperti dakwah dan lain-lain, namun harus tau diri jangan terlalu berlebihan melawan arus, dan kontroversi.

Dalam berdakwah, Walisongo dulu selalu menggunakan media dakwah yang sudah familier di telinga orang Jawa, seperti Wayang, Lelagon, Gamelan dan lain-lain.Bahkan dalam hal pembangunan Masjid sebagai sarana Ibadah yang sangat sakral sekalipun Walisongo tetap melihat tradisi dan kepercayaan lokal untuk di adaptasi dan di adopsi sebagai bagian dari  desain konstruksi dan arsitektur nya dan kemudia di kawinkan dengan bentuk arsitektur khas timur tengah. Hal ini bisa kita lihat di beberapa masjid peninggalan Walisongo seperti di Demak,Kudus,Muria,Cirebon, dan beberapa daerah di Jawa timur.seperti Ampel dan lain-lain.

Rasa nya akan sangat sulit di terima apabila gerakan Islam di Indonesia pada saat itu di lakukan dengan gerakan yang radikal,kontroversial, dan emosional, dan dengan cara yang tidak menghargai tradisi lokal bahkan mengancam eksistensi nya. Mudah di terima nya "Islam" sebagai ajaran baru oleh masyarakat Jawa karena kemampuan Wali songo untuk menggunakan cara yang Pener dalam mendakwahkan hal yang bener.

Jumat, 15 April 2011

PERDEBATAN TEKSTUALIS DAN RASIONALIS

oleh Husein Muhammad pada 16 April 2011
Sejarah kaum muslimin awal adalah sejarah diskusi dan perdebatan intelektual dengan keterbukaan pada sumber-sumber ilmiyah, tanpa mempersoalkan darimana ia berasal. Dinamika intelektual itu  menjadi tradisi masyarakat muslim di mana-mana, di masjid-masjid, surau-surau, padepokan, khanaqah, zawiyah, taman-taman (hadaiq), warung-warung kopi (maqahi), dan ruang-ruang pertemuan social. Ada sejumlah istilah yang biasanya digunakan mereka untuk menyebut tradisi ini. Kitab Ta’lim al-Muta’allim,(buku standar di pesantren untuk etika belajar dan mengajar), menyebut beberapa di antaranya yang popular adalah: munazharah (saling memberikan pandangan), mudzakarah (saling mengingatkan), mutharahah (saling melemparkan pemikiran) dan mujadalah (saling membantah/berdebat).

Diskusi dan perdebatan itu selalu berlangsung antara para penganut paham tekstual-tradisional versus pengikut paham kontekstual-rasional. Meskipun tidak selalu atau sepenuhnya, akan tetapi para pengikut aliran pertama lebih menekankan argumen teks secara apa yang tersurat (literal). Sementara para penganut aliran kedua lebih memikirkan apa makna batin suatu teks. Seorang tekstualis lebih mengutamakan menggunakan tafsir dan menghindari ta’wil sejauh yang dapat dilakukan. Sedangkan seorang rasionalis sering menggunakan ta’wîl dan bahasa ‘majâz’ (metafora). Mereka mengambil sumber tekstual sepanjang masuk akal.

Perdebatan antara mereka pada awalnya menyangkut tema-tema teologi. Misalnya soal-soal apakah Tuhan mempunyai tangan, wajah, betis, jari-jari, bersemayam di singgasana dan hal-hal lain. Al Qur’an dan hadits menyebutkan dengan jelas mengenai ini. Misalnya : “Yad Allah Fawq Aydihim”( Tangan Tuhan di atas tangan mereka). “Wa Yabqa Wajhu Rabbika”(dan Abadilah Wajah Tuhan), dan “Al Rahman ‘ala al Arsy Istawa” (Yang maha Penyayang bersemayam di atas Arasy). Dua aliran di atas mengambil pandangan yang berbeda. Kelompok Tekstualis menyatakan semuanya menunjukan arti apa adanya: Tangan ya tangan, Wajah ya wajah, dan Bersemayam, ya duduk meski tidak sama dengan tangan, wajah dan  duduk di atas singgasananya manusia. Tuhan selamanya berbeda dengan ciptaan-Nya. Sementara kelompok rasionalis, mengajukan makna lain: Kuasa, Eksistensi dan Mengawasi. Tiga isu ini hanyalah beberapa contoh belaka. Masih banyak isu lain dalam al Qur’an maupun hadits Nabi yang semacam itu. Perdebatan soal ini tak pernah selesai bahkan sampai hari ini dan mungkin sampai hari kiamat.

Imam Al Ghazali bilang: “meski Ahmad bin Hanbal, tokoh utama aliran tekstualis, menolak ta’wil atas kata-kata terebut, tetapi dia dalam beberapa hal terjebak dalam ta’wil, minimal pada tiga buah hadits. Pertama : Al Hajar al Aswad Yamin Allah fi al Ardh (Hajar Aswad adalah tangan kanan Tuhan di bumi), “Qalb al Mu’min Baina ushbu’aini min Ashabi’ al Rahman”(hati orang yang beriman berada di antara kedua “Jari-jari” Tuhan Yang Maha Pengasih), dan “Inni Laajid Nafas al Rahman min Qibal al Yaman”(Sesungguhnya aku mendapati Diri Tuhan Yang Maha Kasih “dari arah kanan”).

Isu-isu tentang Sifat-Sifat Tuhan di atas, diakhiri oleh pernyataan Imam Malik bin Anas yang terkenal : “Al-Yad Ma’lum wa al-Kaif Majhul wa as-Sual ‘anhu Bid’ah” (Tangan memang jelas, tetapi bagaimana ia, tidak dapat diketahui dan mempersoalkan hal ini adalah bid’ah).
Perdebatan antara dua aliran juga terjadi dalam fiqh. Dalam konteks ini, perdebatan terjadi hampir dalam seluruh isunya. Istilah yang popular untuk dua kelompok ini adalah “Ahl al Hadits” dan “Ahl al Rayi”, atau ahli hadits dan ahli fiqh.  Dalam bahasa Indonesia dua istilah itu biasa diterjemahkan kaum tradisional dan kaum rasionalis. Atas seleksi sejarah, para ahli fiqh yang masih eksis dan kuat menjadi empat, atau apa yang sering disebut “Empat Mazhab”. Para sarjana menyebut corak/warna masing-masing ; Abu Hanifah sebagai: “Imam Ahl al Ra’yi”.(Pemimpin fiqh Rasional). Malik bin Anas: “Imam al-Muhafizhin” (Pemimpin Fiqh Tradisional). Muhammad bin Idris al Syafi’i: “Imam Ahl al Adl wa al-Mutawassithin” (pemimpin Fiqh Moderat). Dan Imam Ahmad bin Hanbal: “Imam al-Mutasyaddidin” (Pemimpin Fiqh Fundamentalis).  Mereka sering berbeda pendapat. Ini karena fiqh adalah pendapat pikiran, pemahaman orang terhadap suatu teks. Sepanjang ia merupakan pikiran orang, maka perbedaan merupakan sesuatu yang niscaya, karena setiap orang memiliki latarbelakang pengetahuan, kehidupan social, tradisi dan kepercayaan yang berbeda-beda. Hal paling menarik adalah meski mereka berbeda pendapat tetapi tidak saling memusuhi, melainkan mereka saling menghargai.

Peristiwa menarik 

Perdebatan antara dua kelompok ini akan terus berlangsung kapan saja dan di mana saja, karena sepanjang sejarah manusia di manapun selalu ada dua kelompok hyang memahami teks secara literal dan substansial tersebut.

Tetapi ada dua peristiwa menarik mengenai perdebatan ini. Pertama, dalam sebuah acara pelatihan yang diselenggarakan Fahmina Institute, Cirebon, bertema: “Bagaimana memahami Islam”, salah seorang peserta menanyakan apa makna ayat al-Qur’an ini;

فأما من خفت موازينه فهو فى عيشة راضية. واما من خفت موازينه فأمه هاوية وما ادراك ما هية نار حامية

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangannya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.Dan adapun orang-orang yang ringan timbangannya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?. (Yaitu) api yang sangat panas”. [Q.S. al-Qari’ah [101.6-11].

Membaca terjemahan literal atas ayat di atas, peserta yang kebetulan berbadan tambun, merasa gembira, karena dia merasa dijamin masuk surga. Sementara peserta yang berbadan kurus, bersedih hati, karena dikatakan akan masuk neraka. Tentu saja ini semua menurut mereka tidak masuk akal. Ya benar, memang tidak masuk akal, karena Tuhan tidak akan menilai manusia dari aspek wajah dan tubuh seseorang, melainkan pada hati dan tindakannya.

Peristiwa kedua terjadi di sebuah negeri di Arabia. Perdebatan berlangsung antara dua orang ulama terkemuka yang berbeda aliran berpikirnya. Yang satu dikenal panganut aliran tekstualis. Dia seorang alim, hapal banyak hadits, sumber rujukan dalam fatwa keagamaan masyarakat dan pemerintah Saudi Arabia, tetapi ditakdirkan tuna netra (tidak bisa melihat). Sementara yang lain adalah penganut rasionalis, juga alim, cerdas, dan menguasai keilmuan konvensional. Mereka berdebat soal pemaknaan teks. Perdebatan berlangsung sengit dan panjang. Masing-masing mengemukakan semua argumen keilmuan yang dimiliki.

Perdebatan kadang diliputi emosi. Sang rasionalis tampaknya sedikit “jengkel” dengan tuduhan-tuduhan kasar lawannya. Dia kemudian melihat celah yang bisa mematikan argumen pandangan sang Syeikh yang tekstualis itu. Dia lalu menanyakan: ”menurut anda, apa makna kata-kata Tuhan dalam al-Qur’an ini:

ومن كان فى هذه الدنيا أعمى وهو فى الاخرة أعمى وأضل سبيلا

Makna literalnya adalah :”dan barangsiapa yang buta di dunia ini, maka di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”. (Qs. Al-Isrâ’ [17]; 72):

Mendengar pertanyaan ini sang tekstualis yang buta itu tidak bisa menjawab, dia membisu seribu basa. Pertanyaan itu benar-benar menyinggung dirinya yang memang buta itu, meski tidak dimaksudkan untuk itu.

Betapapun perdebatan ini mungkin dianggap konyol, penuh emosi dan tidak mengenakkan, akan tetapi hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa teks tidak selalu bisa dipahami secara apa adanya melainkan perlu dita’wîl, diinterpretasikan oleh nalar agar dapat dipahami dengan benar. Ayat-ayat al-Qur’ân seperti ini sangat banyak. Tuhan tentu berharap agar Kata-kata-Nya dimengerti dengan mendalam, karena di dalamnya tersimpan kekayaan nilai-nilai kemanusiaan yang agung.

Saya sungguh tidak bermaksud mengunggulkan satu atas yang lain, karena dua cara pemahaman atas teks tersebut bisa digunakan. Saya kira menarik apa yang dikartakan Ibnu Rusyd al-Hafid (w. 1198), filosof, ahli fiqh besar bermazhab Maliki:

وان كانت الشريعة نطقت به فلا يخلو ظاهر النطق ان يكون موافقا لما ادى اليه البرهان فيه او مخالفا. فإن كان موافقا فلا قول هنالك, وان كان مخالفا طلب تأويله
“Teks-teks agama ada yang sejalan dengan akal pikiran ada yang (tampaknya) tidak. Jika sejalan, maka tidak ada masalah,tetapi jika (tampaknya) bertentangan dengan nalar, maka perlu diinterpretasi”. (Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, Markaz Dirasah al-Wahdah al-arabiyyah, Beirut, Cet. I, 1997, hlm. 96-97).

Menggapai Surga Dengan Cara Instan?

Lagi, terjadi ledakan bom di sebuah Masjid di komplek Polres Cirebon. Tidak tanggung-tanggung, sekarang yang menjadi sasaran bukan Kafir harbi (non muslim yang wajib di perangi), namun yang menjadi target nya adalah kalangan muslim sendiri yang di anggap "batal" keyakinan nya oleh mereka (kelompok teroris) karena tidak sesuai dengan paham dan ideologi mereka.

Entah "surga" yang mana yang ada dalam benak mereka, yang bisa dengan begitu mudah nya di gapai dengan cara instan seperti ini, cukup ngendat dan meledakkan diri sendiri maka sudah pasti masuk surga. Tanpa harus beramal shaleh dan meninggalkan maksiat sebagaimana yang di ajarkan dalam Al Quran dan di contohkan oleh Kanjeng Nabi Muhamad saw. Dengan cara sederhana seperti ini, tanpa harus repot-repot menahan nafsu yang di "klaim" Nabi sebagai Jihadul akbar di banding sebuah perang tanding yang sangat besar di masa Nabi sendiri yaitu Ghozwatul Badr.

Sebenar nya madzhab apa yang di gunakan mereka dalam berijtihad untuk membuat hukum pembolehan dan penghalalan darah saudara sesama muslim sendiri, pada hal setahuku dalam semua kitab-kitab peninggalan para ahli hukum Islam (baik Fiqh maupun Ushul Fiqh) semua nya selalu menggaris bawahi bahwa dalam setiap membuat sebuah keputusan hukum maka yang harus di dahulukan adalah  "mashlahat ammah" (kemaslahatan umum).  Alih-alih melihat hal ini (kemaslahatan umum) dalam tindakan mereka untuk meledakkan diri sendiri ini, wong kemaslahatan diri sendiri saja tidak di perhatikan babar blas.

Rasa nya bila surga dapat dengan mudah di dapat dengan hanya mau menjadi tumbal  , Islam tidak perlu repot-repot menjabarkan halal-haram. Nabi juga tidak perlu repot-repot untuk mencontohkan mana yang baik dan mana yang buruk, cukup ledakkan diri sendiri saja, secara massal maka semua nya akan masuk surga. Mudah khan?.... Tapi sayang Kanjeng Nabi tidak seperti itu, Beliau lebih memilih hidup normal layak nya manusia yang lain, yang masih beribadah dan meninggalkan maksiat dalam upaya mendapatkan tempat di surga,bahkan beliau saat menjelang wafat, yang di ingat adalah keselamatan ummat nya. Dengan sabda beliau: "Ummati,... ummati,...".

Aku juga tidak paham logika beragama macam apa yang di gunakan oleh mereka, karena lebih memilih ke-madlorot-an di banding ke-mashlahat-an pada hal Kanjeng Nabi sudah jelas-jelas bersabda: "La dlororo wa la dliroro" (Tidak boleh menganiaya  -diri sendiri- dan tidak boleh menganiaya -orang lain-). Oleh sebab itu aku merasa sangat beruntung dulu belajar agama di pesantren,yang mengajarkan sikap Tasamuh, Tawazun, dan ta'adul.Bukan pada mereka. Apa jadi nya jika aku dulu di ajarkan kekerasan oleh mereka dengan dalih sebagai bagian dari perintah agama. Dan di iming-imingi surga cukup dengan menjadi tumbal semata?.....

Rabu, 13 April 2011

Menjadi Muslim Yang Welas Asih

Bukan hanya warga non muslim yang akan merasa takut, serem dan berburuk sangka, kita juga akan merasa seperti itu, ketika melihat sekelompok orang yang bercelana congklang, berjenggot panjang, berjidat hitam dan akan terlintas di hati kita,"Jangan-jangan ini teroris?..". Memang agak nakal pikiran seperti ini. Aku juga terkadang tidak ingin memiliki pikiran buruk dan prasangka jahat seperti ini, namun lagi-lagi simbol-simbol seperti itu sudah terlanjur di reduksi (oleh mereka) menjadi simbol para teroris, di banding sebagai simbol para penggiat sunnah Nabi.

Ada banyak orang yang memang bukan bagian dari para teroris yang berhaluan keras dan ekstrim, mereka hanyalah orang-orang yang tetap ingin nguri-nguri  Sunnah Nabi dengan melakukan hal-hal yang seperti di sebut di atas, namun malah kadang-kadang mereka di salah pahami dan di anggap sebagai bagian dari mereka, terkadang mereka di pandang dengan pandangan kecurigaan. Dan akhir nya meninggalkan aneka macam Sunnah ini dari pada di curigai. Jadilah ulah para pelaku teroris ini menjadi penyebab orang meninggalkan sunnah Nabi.

Terkadang aku juga merasa tidak habis fikir, kenapa mereka sebegitu sempit nya memahami ajaran agama, hanya sebatas simbol-simbol semata, kata "Islami" di reduksi sebagai kata yang hanya mengandung arti hal-hal yang kearab-araban. Atau di maknai sebagai kata yang dikotomis dengan kata "Non Islami",setiap yang tidak Islami adalah "Kafir", setiap yang kafir adalah musuh Allah, dan setiap musuh Allah halal di bantai.Apapun hal yang datang dari barat adalah non islami, seperti Demokrasi, HAM, dll. Bahkan ada hal-hal yang sudah jelas-jelas menjadi tradisi Islam di negeri ini di mata mereka menjadi tidak Islami, seperti Tahlil, Maulidan, dll, sehingga ada beberapa gerakan yang menamakan diri seperti GAM (gerakan anti maulid) GAT (gerakan anti tahlilan) dan GAB (gerakan anti barzanzi).

Oleh sebab itu, jangan sampai kelompok-kelompok yang seperti ini menemukan momentum untuk melebarkan faham dan ajaran nya di masyarakat kita, dengan mengesankan "kegagalan" nya pemerintahan di Indonesia ini, yang di mata mereka belum Islami. karena tidak memakai hukum Allah. Sebagai mana semboyan mereka "La hukma illa lillah"  (Tiada hukum kecuali milik Allah).  Semakin di rasakan gagal pemerintahan di mata masyarakat, maka peluang mereka untuk menancapkan ideologi nya di tengah-tengah masyarakat kita, dengan mengiming-imingi sebuah alternatif terbentuk nya pemerintahan yang Islami dengan bentuk "Khilafah Islamiyyah".

Kami bukan alergi "Khilafah" namun kalau khilafah yang model seperti mereka, yaitu suka melakukan kekerasan, teror, dan kriminalitas yang berbungkus jihad, maka hal ini perlu di pikir ulang beribu kali.Karena bagi kami, akan lebih mudah untuk merangkul masyarakat yang berwatak ketimuran dengan sikap yang welas asih, dan sudah di buktikan oleh para leluhur kita dahulu seperti Wali songo, dan para kiai di Tanah Nusantara. Hal ini bukan tanpa alasan, karena menurut kami, Allah sendiripun lebih suka mendahulukan sifat "Welas" (Rahman) "Asih" (Rahim) di pembukaan Surat Kitab suci Nya, di banding Asma Allah yang lain yang mencerminkan ke Maha kejaman Nya (Syadidul 'Iqab). Dalam Iftitah Nya Allah bertitah dengan : Bismillahirrahmanirrahim.Bukan dengan kata: "Bismillahi Syadidil Iqab" misal nya.

Kalau Tuhan yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Pemaksa dll saja, lebih suka mendahulukan ke- Maha Welas Asih-an Nya, dibanding ke-Maha Kuasa-an Nya, kenapa kita makhluq yang serba kekurangan menjadi adigang, adigung adiguno. Rasa nya sangat tidak pantas sikap takabbur ini kita lakukan, baik di hadapan para non muslim, apalagi sesama Muslim sendiri. Baik di hadapan para ahli ibadah maupun di hadapan para pendosa. Sikap merendah diri menjadi satu-satu nya sikap yang sangat di anjurkan oleh Allah dalam kitab suci Nya, maupun yang di contohkan oleh Kanjeng Nabi, dan para Sahabat nya. Maka mutlak bagi kita yang mengaku muslim untuk berwelas asih........

Minggu, 10 April 2011

Cerita Indah Di Balik Kedatangan Letto Di Karangrandu


 
Kedatangan grup band Letto ke desa Karangrandu adalah sebuah prestasi yang pantas untuk diapresiasi. Selain gegap gempita yang tercipta, proses kedatangan Letto ke desa kecil ini juga diwarnai banyak sekali cerita indah, menarik dan lucu.

Grup band Letto adalah grup band kaliber ibukota, oleh karena itulah banyak sekali masayarakat yang tidak percaya dengan rencana kedatangan Letto ke Karangrandu. Saking tidak percayanya, baliho yang dipasang dipinggir jalan sampai-sampai tidak dilirik, apalagi dibaca. Kalaupun ada yang membaca, mereka akan berpikir ini hanya sebuah lelucon atau pancingan saja.

Kaos acara yang biasanya sangat laris manis, menjadi barang obralan karena masyarakat dan kawula muda telanjur under estimate dengan rencana kedatangan Letto ini. Hal ini sangat lumrah, mengingat bahwa artis sekaliber ibukota harusnya yang menghandle adalah kabupaten, bukan desa kecil bernama Karangrandu.
Tidak hanya masyarakat umum yang merasa sangsi dengan rencana kedatangan band yang lagu-lagunya sarat akan makna ini. Bahkan team panitia yang sudah dibentuk pun merasa minder.

Padahal mereka adalah orang-orang pilihan yang sudah terbiasa menghandle acara, ya walaupun baru tingkat desa. Konsep setiap hari berubah. Sampai-sampai H-20 konsep matang belum jadi. Persiapan selama 6 Bulan menjelang hari H penuh dengan kebingungan, kegelisahan, deg-degan, bahagia, bangga tapi tetap optimis.

Persiapan menjelang kedatangan Letto sebenarnya dikawal oleh team dari management Letto. Team Management menunjuk 2 orang untuk mengawal dan membantu persiapan panitia. Mereka adalah para profesional di bidang yang berbeda. Adalah Mas Agus Ampuh Wibowo, beliau profesional dalam bidang konsep acara, kemudian Mas Yudhistira Prakasa yang ahli dalam bidang teknis acara.

Disamping mereka, adalah mas Affandi (aktivis lembaga di kabupaten Kudus), Mas Muzid (dosen Universitas Muria Kudus) mas Koko dan mas Aldi (aktivis sosial dari Jogja) yang dengan sukarela bersama-sama panitia membingkai paseduluran indah di Karangrandu. Merekalah yang mengawal dari awal hingga purna acara. Sampai-sampai mereka harus rela pulang pergi Jogja – Karangrandu. Perjuangan yang takkan pernah sia-sia mas.

Rangkaian acara yang bertujuan untuk menumbuhkan kebanggaan menjadi petani ini juga sangat tidak bisa diprekdisikan. Karena kami harus berwas-was dengan cuaca yang tidak menentu, lapangan yang sangat becek, dan konsep yang sewaktu-waktu bisa berubah. Bahkan rencana menyewa pawang hujan menjadi terabaikan.

Tiga hari menjelang puncak acara kami diberkahi dengan turunnya hujan yang rata-rata lumayan lebat. Indahnya adalah hujan turun sebelum acara dimulai, ketika acra berlangsung, hujan sudah mulai reda. Begitupula, terkadang hujan turun sesudah acara selesai. Benar-benar syukur tiada terkira, walaupun kami baru menyadarinya. Puncak acara benar-benar kami nikamati di tengah lumpur becek.

Salah satu yang tak bisa terlupakan adalah obor-obor, sebuah budaya lama untuk nyiwer (mendoakan desa) di modifikasi sedemikian rupa. Anak-anak kecil mengelilingi desa dengan obor di tangan seraya mengumandangkan sholawat Nabi. Dan lagi-lagi hal yang patut di syukuri adalah listrik padam sebelum acara dan hidup setelah acara selesai. Subhanallah, acara obor-obor dengan suasana listrik padam sungguh menambah suasana hikmat mendoakan desa.

Ditengah perasaan haru, kami dikagetkan dengan penampilan band Letto yang mengenakan sarung di atas panggung. Mereka berani berbecek- becek melintasi lapangan yang penuh lumpur, mereka tidak mengeluh, mereka menikmati dan berharap Karangrandu adalah sedulur barunya. Benar-benar mereka memang tak pernah biasa.

Rangkaian acara panjang, lelah, letih, bahagia, haru, banyak sekali perasaan bercampur aduk. Banyak cerita tercipta. Namun yang perlu diketahui adalah sosok penting yang menjadi awal bagaimana bisa Letto datang ke Karangrandu. Dialah Akhis Jauhari, Jika melihat penampilannya takkan ada yang percaya kalau beliaulah orang penting dibalik acara ini. Kalau bukan karena kenekatannya mustahil acara ini dapat terwujud. Terimakasih Tuhanku, Engkau telah mempertemukan kami dengan sedulur-sedulur yang tak pernah biasa. (Oleh: Kafi Kita)

Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu

"Jane mau nya apa sih anggota DPR itu?" tanya kang Kuri mengawali jagongan di warung kopi lek Roh saat menonton acara berita di TV yang menayangkan berita pembangunan gedung DPR yang baru ,yang akan di bangun di komplek DPR,bersama geng nya yang terdiri dari Kang Saman, Kang Kaji dan dua anak muda yang aku belum kenal nama nya. Mendengar pancingan dari Kang Kuri, maka lek Roh berseloroh: "Wis tidak usah melok-melok urusan wong elit to kang".  Demikian dia mengingatkan pelanggan setia nya ini.

"Memang, sekarang mereka sudah pada mbudhek, karo micek" kata kang Saman, pria yang di kenal sebagai preman pasar ini ,agak marah, karena dia merasa sejahat-jahat nya dia sebagai preman pasar, dia masih punya rasa iba sama pedagang sepuh yang di pasar, dan dia tidak mau memeras nya. Di dalam hati nya masih ada sedikit tempat  untuk  welas asih. Bukan seperti anggota DPR yang tetap berlalu seperti kafilah walaupun banyak anjing yang menggonggongi mereka.

Mendapat respon dari Kang Saman yang terkesan mendukung nya, maka kang Kuri melanjutkan jagongan nya yang semakin seru. "Sebenar nya sih mau mbangun   gedung kayak apapun kalau tugas mereka sudah paripurna, kita juga tidak akan protes koq asal rakyat sudah sejahtera, intine kalo rakyat kenyang, ndak masalah to?", Kata Kang Kuri , "Betul Kang, lha ini rakyat saja masih susah koq arep macem-macem.Sebenar nya rakyat khan tidak goblok-goblok amet sih, seperti yang mereka kira". Demikian timpal nya lek Roh.  "Mungkin kritikan para pengamat dan rakyat di anggap seperti gonggongan anjing, yo lek?" Tanya Kang Kuri ke pemilik warung. "Dan mereka merasa menjadi "kafilah" yang sok mulia, sehingga teriakan rakyat di anggap sebagai teriakan binatang yang winodho" Lanjut Kang Kuri.

Mendengar tema jagongan yang sedang aktual dan semakin seru ini,maka Kang Kaji jadi tertarik untuk nimbrung, pada hal tadi nya dia hanya asyik dengan mengupas kacang godhok yang di sajikan di depan nya, diam-diam dia menyimak dengan seksama obrolan teman-teman nya. "Tapi tidak semua anjing itu winodho loh !!" Timpal nya. Mungkin maksud dia adalah anjing nya Ashabul kahfi.  Yang berhasil masuk surga dengan mereka dan mendapat tempat terhormat di sisi Nya. "Bahkan aku akan merasa bangga menjadi "anjing" yang selalu berteriak saat ada orang yang mau maling" Jelas nya lagi. "Ya bener Ji, dari pada jadi Kafilah yang suka nya merampok" kata kang Saman, meneruskan kata dari Kang Kaji.

Demikian, sepenggal cerita di warung kopi pinggir jalan,itulah Logika kaum pinggiran dan rakyat kecil, mereka sudah semakin pintar dan bisa melihat hakekat dan isi di banding hanya melihat cover luar yang tampak sekilas saja. Mendengar logika yang sekilas tampak sederhana ini, namun sangat ilmiah aku jadi tertegun dan bicara dalam hati "Ternyata rakyat sudah pada pinter". Dalam istilah Ushul fiqh nya  logika seperti ini bisa di kategorikan dan di sebut "Mafhum mukholafah". -mungkin agak gegabah- Yaitu pemahaman kebalikan dari yang di maksudkan oleh pepatah tersebut yang sebenar nya. Karena pada dasar nya pepatah ini di tamsilkan untuk para pelaku kebaikan yang di umpamakan seperti Kafilah, walaupun banyak orang yang mencela kebaikan nya seperti gonggongan anjing namun dia harus tetap berjalan tanpa harus memperdulikan dan hiraukan. Jadi pepatah ini menjadi "tidak tepat" apa bila di jadikan motto oleh para anggota DPR. Karena misi dan kelakuan mereka sudah jauh dari yang semesti nya.

 Bagi Lembaga yang mengaku menjadi wakil rakyat ini,  dimana laku dan adat mereka bukanlah laku para "kafilah" yang harus nya baik dan terpuji, tapi laku mereka adalah laku yang tercela, dan merugikan rakyat. Maka nya Kang Kaji  dalam jagongan nya tadi  merasa akan lebih "terhormat" bila di anggap sebagai anjing, namun bersuarakan yang haq, dan selalu mengingatkan kebaikan dan kesabaran seperti anjuran Tuhan dalam Surat Al- ashr (Wa tawashau bilhaqqi wa tawashau bisshabr), di banding menjadi kelompok kafilah yang hanya bisa membodohi rakyat nya, merugikan rakyat nya dan memperkaya diri sendiri serta mementingkan golongan sendiri. "Jauh, jauh lebih mulia anjing menggonggong"  simpul Kang Kaji, sebelum berlalu ke Musholla karena sudah terdengar suara adzan ashar.

Cedhak Tanpo Senggolan Adoh Tanpo Wangean (Deskripsi Tuhan Menurut Orang Jawa)

Ungkapan yang menjadi judul di atas memang kurang familiar di telinga kita, Tuhan atau yang biasa di ucapkan oleh orang Jawa sebagai Gusti Alloh atau Gusti Pengeran, di deskripsikan oleh orang Jawa sebagai Dzat yang "Cedhak tanpo senggolan adoh tanpo wangean", maksud nya ialah bahwa eksistensi Tuhan itu sangat dekat dengan manusia tapi tidak dapat di sentuh,dan jauh tetapi tidak ada jarak dengan manusia.

Tuhan berada di dalam diri manusia dan alam semesta,menurut orang Jawa Tuhan dan manusia itu manunggal yang di kenal dengan doktrin "Manunggaling kawulo Gusti".Itulah sebab nya salah satu faham kejawen di tanah jawa (Bratakesawa) berpendapat bahwa :"Wa man 'arofa nafsahu faqod 'arofa Rabbahu" artinya :Barang siapa yang mengenal kesejatian diri nya maka dia telah mengenal kesejatian Tuhan nya.

Manunggaling kawulo Gusti juga menjadi konsep ketuhanan orang Jawa yang sangat terkenal, konsep ini bertujuan untuk mengajarkan manusia agar tahu tentang hakekat hidup yaitu "Sangkan paraneng dumadi"  dalam hal ini manusia di tuntut untuk tahu asal dan tujuan hidup nya di dunia ini agar jalan hidup nya tidak tersesat di jagad gedhe ini, untuk itu dalam menjalani hidup manusia agar selalu merasa manunggal dengan Gusti dengan cara selalu mengikuti segala petunjuk Nya dan menjauhi larangan Nya. karena memang hidup ini dalam panduandan pengawasan Nya.

Setelah manusia bisa menjalani hidup nya dengan manunggaling kawulo Gusti  secara baik maka selanjut nya manusia  akan memasuki fase "Jumbuheng kawulo Gusti".  fase ini dapat di jalani oleh manusia apabila dia bisa membekali diri nya dengan ngelmu roso. Ngelmu roso memuat tiga hal kerelaan diri yang harus di jalani oleh seseorang yaitu: Rela terhadap takdir hidup apapun itu,Rela terhadap dzikir dalam hening, Dan Rela terhadap anasir.

Maksud nya ialah dalam hidup seseorang hendak nya ikhlas terhadap takdir dari awal sampai akhir dalam permohonan nya.Dalam berdzikir hendak nya juga harus benar-benar dalam kondisi hening agar hati nya benar-benar menyatu dengan sang Kholiq sehingga menjadi kawulo yang "Jumbuh" dalam konsep Jumbuhing kawulo Gusti.Sedangkan rela terhadap anasir ialah bentuk kerelaan dan kepercayaan pada asal usul kehidupan yaitu Tuhan yang menjadi hakekat sangkan paraning dumadi.

Setelah melalui fase di atas kemudian manuisa bisa menuju pada fase yang lebih tinggi yaitu Pamoreng kawulo Gusti, arti nya bahwa hidup nya sudah di sinari oleh nur atau cahaya ilahiyyah karena dia sudah menjadi manusia yang bersih hati , badan , tindak tanduk  dan ucapan nya. Manusia yang sudah bisa mengendalikan diri nya atau dalam istilah jawa mati rogo arti nya raga kasar nya seakan sudah mati walaupun nyawa nya masih terhembus, karena tidak lagi di kendalikan oleh nafsu namun di kendalikan oleh cahaya ilahiyyah .Sehingga segala tindakan nya mencerminkan sifat, apengal (af'al), dan asma Tuhan yang serba terpuji, seperti pengasih, penyayang, atau welas asih pada sesama.

Sabtu, 09 April 2011

Pejah Gesang Nderek Kiai

Bagi Kang To, seorang santri yang sudah lama mondok di sebuah pesantren tua di pelosok kampung, hidup nya itu tidak berarti apa-apa tanpa mendapat pangestu dari Guru nya. Restu dari seorang Kiai di dalam tradisi pesantren adalah hal yang sangat di harapkan oleh santri, mungkin pangestu bisa di artikan dengan kata "Ridlo". Apapun yang di lakukan oleh santri dalam menempuh hidup dan menuntut ilmu selama di pesantren tidak akan berarti apa-apa dan tidak akan berguna bila tidak di sertai dengan pangestu dari Kiai, sebalik nya apa bila seorang santri sudah di ridloi oleh Kiai maka hidup nya akan terasa serba mudah, berkah dan ndilalah.
Bagi kalangan non pesantren memang agak susah memahami pola hubungan antara santri dan kiai yang seakan sudah menjadi aturan baku di pesantren ini, ada banyak cara di lakukan oleh santri untuk mendapat pangestu kiai, seperti kerelaan santri untuk ngenger dan nyantrik di ndalem Kiai. Ada santri yang kerjaan nya hanya nyawah,asah-asah atau mencuci piring di dapur, ke pasar da lain sebagai nya. Ada lagi yang kerjaan nya momong putra putri kiai, dan umbah-umbah rasuk'an keluarga kiai. Semua itu di lakukan tanpa imbalan upah seperti layak nya pekerja dengan majikan nya. Apapun yang di lakukan santri kepada kiai nya adalah sebagai bentuk khidmah dan pelayanan cuma-cuma dan hanya berharap berkah dan pangestu Kiai.

Dalam dunia pesantren kiai memiliki posisi sentral, kiai menjadi tempat untuk matur dan wadul  segala permasalahan yang di hadapi oleh santri, bahkan juga oleh masyarakat sekitar pesantren, bukan hanya urusan permohonan dengan Tuhan, seperti minta berkah untuk di doakan agar hajat nya di kabulkan.Bahkan urusan keduniaan pun di tumpahkan kepada kiai, misal nya ketika ada seseorang sedang sakit, atau tertimpa musibah maka kiai pun menjadi tumpuan harapan mereka, Kiai di minta untuk nyembur si sakit agar sembuh, atau Kiai di mohon agar dia mau memberi pinjaman uang pada mereka saat sedang kepepet sebuah kebutuhan. Bahkan ada warga yang agak ndablek dan berani nempohi  kiai untuk melunasi kreditan motor nya,.. aneh-aneh memang.

Seperti teman ku yang satu ini, Kak to aku biasa memanggil nya, dia dulu hanya seorang santri dari keluarga miskin, bahkan waktu masih mondok dulu, saking malu nya kepada teman-teman sekelas dia tidak berkenan untuk di kunjungi rumah nya. Akupun hanya sekali di beri kesempatan oleh nya untuk datang ke rumah nya, tepat nya waktu dia menikah, dan aku mengajak anak istriku untuk memenuhi undangan yang sangat langka ini dan  hanya sekali seumur hidup. Pada saat itu aku  hanya bisa mbatin  dan nyletuk ke istriku :"Pantes dulu temen-temen tidak boleh datang". begitu ucapku saat melihat rumah nya yang sangat kecil dan nyampur dengan kandang kambing. Sebuah rumah yang sangat jauh dari sehat, dan layak huni. Namun aku melihat ketentraman memancar dari sana.

Saat masih mondok Kang To selalu nderek dawuh Kiai, selain ngenger di ndalem  dengan melaksanakan  tugas rumah tangga , dia juga setiap pagi nyuci mobil yang selalu di pakai oleh pak Kiai.Bahkan ada tugas yang tak tergantikan oleh santri lain yaitu urusan merawat alas kaki Kiai, tugas nya yang rutin adalah nyemir sendal dan sepatu Kiai. Memang bagi sebagian orang ini tugas yang remeh dan hina, mungkin. tapi bagi nya merawat alas kaki kiai adalah tugas mulia agar dia mendapat berkah dan pangestu dari nya, dia tidak pernah merasa risih dan terhina saat harus moles sendal pak Kiai di depan santri yang lain, semua di jalani tanpa pamrih duniawi.

Setelah Kang To boyong dari pondok, banyak teman-teman yang meremehkan nya, namun berkat dari kesetiaan nya untuk khidmah kepada kiai maka sekarang hidup nya sudah lebih terhormat, bahkan bagiku sangat terhormat, dia sekarang sudah jadi Na'ib yang tukang menikahkan pengantin. Memang proses hidup nya tidak sederhana, sering di hadapkan dengan cobaan, namun dia selalu yakin pangestu kiai adalah bekal yang tak ternilai untuk bisa menyelesaikan permasalahan nya.  Dia salah satu sosok yang aku idolakan dan aku banggakan. "Nisbate santri ngluthuk neng iso mulyo seperti ini"  begitu jelasku kepada istri ku saat membanggakan nya. Maka sampai kapanpun aku selalu berharap agar di anggep dan di daku  oleh Pak kiai seperti kawanku yang satu ini, aku merasa iri pada nya karena bagiku hidup nya selalu di sinari oleh berkah Kiai. Menurut ku di anggep dan di daku sebagai santri oleh Kiai sudah sangat cukup. Sampai kapanpun "Pejah gesang nderek kiai" itu prinsip hidup santri.

NU Azali (Oleh:Yahya Kholil Staquf)

Hadlratusy Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy’ari Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai paripurna. Apa pun yang beliau dhawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup bagi santri-santrinya, bahkan sesudah wafatnya.

 Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang. Segerombol jama’ah dalam merek jam’iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang yang ideologinya susah diidentifikasi, identitas yang nyaris tanpa definisi… tapi toh begitu terasa balutannya… bagi mereka yang —entah kenapa— mencintainya…

Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana Hadlaratusy Syaikh sendiri mencandranya:

بيني وبينكم في المحبة نسبة

مستورة في سر هذا العالم

نحن الذون تحاببت أرواحنا

من قبل خلق الله طينة آدم

antara aku dan kalian ada tautan cinta
tersembunyi dibalik rah’sia alam
arwah kita sudah saling mencinta
sebelum Allah mencipta lempungnya Adam

Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.

Kyai Abdul Karim Hasyim, putera Hadlratusy Syaikh sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah seorang santri Hadlratusy Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Majid. Mereka berdua memilih tetap didalam Masyumi. Apakah mereka tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada pernyataan Hadlratusy Syaikh semasa hidupnya —NU keluar dari Masyumi sesudah Hadlratusy Syaikh wafat: “Masyumi adalah satu-satunya partai bagi ummat Islam Indonesia!”

Apakah sikap pilihan mereka itu mu’tabar atau tidak, adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-pendar cahayanya.

Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian membuat odo-odo “aneh” sehingga memancing kontroversi diantara masyarakat kampungnya.

“Siapa namanya?” tanya Hadlratusy Syaikh.

“Ahmad Dahlan”

“Bagaimana ciri-cirinya?”

Santri Basyir menggambarkannya.

“Oh! Itu Kang Dahlan!” Hadlratusy Syaikh berseru gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman semajlis dalam pengajian-pengajian Syaikh Khatib Al Minangkabawi di Makkah sana.

“Tidak apa-apa”, kata Hadlratusy Syaikh, “yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia”.

Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad Dahlan medirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.

Apakah Kyai Basyir “tak pernah NU”? Belum tentu. Puteranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir (Kakak ipar Kyai Ali Ma’shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan Al Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian Kyai Ali Ma’shum pun tak ditinggalkannya.

Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR Fahruddin. Kepada teman sekombong saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek,

“Kamu nggak usah macam-macam”, kata saya waktu itu, “ketuamu itu ORANG NU!”