Rabu, 23 Maret 2011

Muslim Abangan (Cara Beragama Kaum Awam)

Dalam sebuah kata pengantar  sebuah buku karya Muhammad sobari (Kang Sejo Melihat Tuhan) Gus Dur menyebutkan sebuah istilah "etika marginal", yaitu sikap beragama yang fluktuatif, terkadang berprilaku sebagai "santri" yang sangat taat menjalankan ajaran agama nya yang sempurna (kaffah) dan ideal, namun di satu sisi, dan di saat yang lain terkadang menjadi seorang muslim "abangan" yang dengan sekena nya dalam menjalankan ajaran agama nya.

Cara beragama yang seperti ini menjadi cara yang paling banyak di anut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. "Etika marginal" ini memiliki keindahan nya sendiri,dan juga keabsahan yang tidak bisa di sangkal oleh siapapun, kecuali agamawan yang berpandangan sempit,yang tidak dapat menerima selain "kebenaran mutlak" dari agama yang di peluk nya. Sikap seperti ini sekilas terkesan terlalu menerima relativitas kebenaran cara beragama yang konvensional,seolah-olah ini tidak melihat perlunya kedalaman rasa dan pikir dalam menjalani kehidupan beragama.

Apa lagi hal ini di perkuat dengan sinisme dan sarkasme yang di perlihatkan pada kehidupan beragama yang konvensional yang di laksanakan secara kaku, seperti kelakuan seorang yang sudah berstatus "haji" misal nya,walaupun dia sangat taat beribada namun dalam setiap beribadah dia ingin selalu menjadi imam dan di hormati, menurut kalangan abangan hal ini di anggap sebagai "tabu" dan tidak pantas. Kemampuan untuk beragama secara lentur yang tidak kaku dalam mengamalkan ajaran agama justru memperlihatkan kedalaman pemahaman dan komitmen orang kecil pada agama mereka.

Akhir-akhir ini ada gejala pemaksaan dan anggapan, bahwa dalam mengamalkan Islam, seseorang harus secara sempurna,sebagaimana firman Allah:"Udkhulu fissilmi kaffah" (masuklah kalian ke dalam Islam secara sempurna), apa bila tidak maka tidak sah keislaman nya. Memang benar dalam berislam kita di minta untuk sempurna, tapi dalam ayat lain Allah juga berfirman: "La yukallifu Llahu nafsan illa wu'aha" (Allah tidak pernah membebani seeorang kecuali semampu nya). Ayat ini bukan sekedar bisa di makanai beban berupa "cobaan" yang di timpakan kepada kita selaku hamba nya sebagaimana yang di fahami oleh sebagian dari kita, yaitu bahwa Tuhan itu tidak mencoba hamba nya kecuali sesuai kemampuan nya, lebih dari itu ayat ini juga menegaskan dan memproklamasikan bahwa Tuhan tidak memaksakan "Taklif" nya kepada seseoarng, perlu di ingat bahwa kata "taklif" dalam istilah fiqh itu di makanai sebAgai beban dan tugas berupa ibadah dari Allah kepada umat manusia.

Jadi rasa nya kita tidak perlu terlalu sok benar dengan merasa paling sudah islamy di banding laku agama orang lain. Karena masing-masing orang memiliki cara dan laku sendiri-sendiri yang sesuai dengan kadar keilmuan dan pengalaman spiritual nya,karena agama adalah sarana dan alat untuk menuju Tuhan,bukan tujuan hidup itu sendiri.Pencarian dan pengenalan akan Tuhan lah yang menjadi wahana utama kehidupan beragama.bukan nya penganutan ajaran agama secara "sempurna".Kalau cara pengenalan akan Tuhan di lakuakn secara beragama konvensional yang tuntas hal itu tentu sangat baik, katakanlah kondisi itu ideal dalam kehidupan beragama.Tetapi kalau pelaku agama tidak mampu melainkan hanya "beragama sekena nya" belaka hal itu tidak mengurangi sedikit pun keabsahan hidup beragama mereka. Bukankan dalam segala bidang dari dulu selalu ada elite dan orang awam termasuk juga di dalam nya kehidupan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar