Senin, 21 Maret 2011

Bapak ku Si Wisanggeni

Mikul dhuwor mendhem jero, demikian pepatah Jawa yang menginspirasi tulisanku ini. Tetembungan jawa itu berarti, sebagai wujud bakti kepada orang tua kita, maka kita sebagai putra nya harus bisa membuat bangga orang tua. Kamukten anak bisa menjadikan bangga orang tua, oleh sebab itu kita harus bisa menjaga nama baik nya sampai kapanpun sebagai komitmen untuk "Mikul dhuwor mendhem jero".

Saat memberikan sambutan pelepasan jenazah bapak saya, Kiai Miftah, seorang kiai kharismatik di Jepara menjuluki bapakku dengan sosok tokoh dalam pewayangan bernama Wisanggeni. Tokoh ini di kenal sebagai sosok yang betah ngelih, betah tirakat, dan gemar poso. Sebagai sosok yang sejak lahir memang sudah di tempa di Kawah condrodimuko, Wisanggeni kecil selalu hidup dalam keadaan tirakatan sehingga mampu menjadi sosok yang sakti mondro guno.

Dalam uraian nya Yi Miftah, menyebutkan bahwa Mbah Rusdi (bapak ku) itu pernah lama tidak makan, yaitu saat di rawat di rumah sakit di Kudus, karena sakit tenggorokan tidak bisa di lalui oleh makanan, lebih dari seminggu di rawat di rumah sakit Sunan Kudus, bapak ku betah menahan diri dari makanan, tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan setauku, saat setelah di nyatakan sembuh oleh dokter, Mbah Rusdi selama hidup nya samapi wafat, memang masih mengalami kondisi susah menelan makanan. Jadi semenjak tenggorokan nya sakit ini bapak ku dalam kondisi tidak dapat menelan makanan yang tidak lunak sampai beliau wafat.

Begitu juga saat harus di operasi karena sakit Tedun yang di alami nya, bapak ku juga tidak pernah mengeluh, bagi beliau semua itu adalah bagian dari cara Tuhan untuk ngresik'i dosa, agar saat waktu nya nanti, beliau sowan ke sisi Nya maka sudah bersih dan bisa husnul khotimah. Hanya itulah harapan beliau saat hari-hari terakhir nya menjelang wafat. Oleh sebab itu bapakku adalah sosok yang selalu menginspirasi hidup ku.

"Anak polah bopo kepradah", begitu semboyan ayahku, ketika harus merawat dan membesarkan anak-anak nya, apapun yang di lakukan anak, maka orang tua selalu harus ikut bertanggung jawab. Hal ini sangat aku rasakan saat aku harus menikah padahal saat itu aku hanya seorang remaja tanggung yang baru lulus Pesantren yang masih ikut khidmah dan ngenger di ndalem Mbah Nyai sepuh di Girikusumo. Tapi ketangguhan dan tanggung jawab ayahku sangat aku kagumi, dan saat itu beliau berkata: "Nikahke anak iku salah sijine kewajibane wong tuo". Betapa tegar bapak ku ini, pada hal saat itu beliau sudah sangat uzur, karena umur nya sudah mencapai yang ke 77 tahun, beliau lahir pada Tahun 1922 M.

Saat itu aku belum berpenghasilan sama sekali, tapi karena di dhawuhi untuk menikah oleh Mbah kiai Nazhif zuhri, maka orang tua ku bertekad, bukan hanya sekedar omong doang kalau dalam istilah Jakarta, untuk melaksanakan dhawuh kiai,untuk  menjalankan tugas dan kewajiban nya ini. sampai seluruh prosesi pernikahan tuntas, meskipun dalam suasana yang sederhana, Tapi aku sangat bangga menjadi salah satu santri yang bisa di nikahkan dan di berkati oleh Mbah Nazhif - Qoddasallahu sirrahu- di pendopo masjid Girikusumo.

Dan akhir nya aku selalu berdoa pada Allah swt. agar selalu membimbingku dalam tugas Mikul dhuwur mendhem jero. amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar