Rabu, 30 Maret 2011

Islam Gaya Kampungan (2)

Bagi Yu Temen, istri dari Kang Wiji yang sama-sama tidak mudeng tentang syarengat, -begitu biasa nya pasangan ini menyebut Syariat Islam-, "urep iku mung mamper ngombe".  Hidup adalah numpang minum, hanya sebentar dari sekian panjang nya perjalanan hidup manusia yang akan di tempuh, oleh sebab itu bagi nya tidak perlu ngoyo mencari dunia. "Toh nanti akan di tinggal juga", kata  Yu Temen. Malu aku pada kepasrahan keluarga ini, mereka hidup tidak seperti keluarga terdidik yang serba terencana, baik dalam mencari nafkah, membelanjakan nya dan semua perhitungan nya.

Pernah suatu hari di meja makan reot di sudut dapur mereka yang ada hanya sepiring singkong rebus, dan saat Kang Wiji pulang macul dari pekarangan Den Joyo, karena dari semenjak subuh dia memang tidak nyarap dulu, maka sesampai nya di rumah dia langsung membuka tutup makanan yang ada di atas meja, namun setelah yang di temukan hanya sepiring singkong rebus, Kang Wijipun hanya mbatin dalam hati nya "Urep opo onone, rak usah karep". Begitu dia ngeyem-ngeyemi diri nya. Bagi Kang Wiji, apapun sudah di kehendaki Tuhan jadi kita tinggal menjalankan. Sungguh sebuah kepasrahan yang sempurna. Tidak seperti kebanyakan dari kita yang sok tau dan selalu menpertuhankan  apa saja yang kita rencanakan semua  dengan serba kalkulasi logika. Pada hal Tuhan lah yang maha tahu apa yang baik untuk kita dan apa yang buruk buat kita.

Malam itu, saat acara Muludan yang di laksanakan seminggu sekali, di Langgar kampung, ibu-ibu dan suami-suami mereka ikut hadir semua, tak ketinggalan Yu Temen, dan suami nya. Begitu juga Kang Kaji dan istri nya hadir di barisan kelompok elite kampungan di sana, tidak ketinggalan, meskipun hanya sebungkus kerupuk, atau opak rata-rata mereka membawa nya sebagai tentengan di tangan, pernah suatu saat, ibu-ibu pada membuat kesepakatan untuk mengintip siapakah kira-kira yang pulang tidak membawa wadah makanan ringan?. Walaupun diam-diam, namun mata mereka jelas sekali sedang jelalatan untuk memperhatikan, meskipun tidak di komando namun seragam nyata nya. Dan akhir nya mata mereka menemukan seorang perempuan yang tidak membawa wadah untuk di bawa pulang lagi, eh ternyata istri Kang Kaji. Karena rumus yang di sepakati oleh mereka, kalau orang tidak bawa wadah berarti dia tidak bawa makanan, dan barang siapa yang tidak bawa makanan untuk muludan maka dia adalah makhluq paling pelit. Benarkah?

Suatu saat Ketika anak dari Kang Wiji pulang mondok di sebuah pesantren, maka saat itulah saat yang paling berat bagi keluarga ini, karena mereka harus menyiapkan sekarung  beras dan beberapa puluh ribu uang untuk di jadikan bahan makanan di pondok nya. Karena sudah terlalu pusing, namun optimisme Kang Wiji selalu tumbuh, bagi nya walaupun harus ngutang ke tetangga, demi anak nya dia tetap rela, "Anak polah bopo kepradah" mungkin itu yang ada dalam pikir nya. Setelah ke sana ke mari, akhir nya harapan satu-satu nya ya cuma Den Joyo, "Den kulo butuh arto, saya minta pekerjaan besok di bayar di depan". Kata kang Wiji di depan Den Joyo. Maka akhir  keluarlah beberapa lembar dari kantong Den Joyo untuk Kang Wiji. Berangkatlah anak Kang Wiji esok hari nya demi menuntut ilmu di sebuah pesantren kata Yu Wiji:"Yo ben wong tuone bodho neng anak'e mugo-mugo ora" . Meskipun dia punya rencana yaitu anak nya agar pintar namun dia masih tetap bergantung pada Gusti Allah dengan kata Mugo-mugo ora, bagaimanapun semua adalah  rencana Tuhan.Maka dia harus tetap bergantung pada Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar