Sabtu, 04 Juni 2011

Rejeban Dan Ruwahan (Tradisi Islam Nusantara)

Memasuki bulan Rajab dan Sya'ban dalam tahun Hijriyyah, di dalam tradisi Muslimin Nusantara ada banyak sekali cara untuk menyemarakkan (syiar) nya.Dari cara yang bersifat praktek ritual seperti Selametan tolak balak, puasa sunnah, dan berbagai ritual keagamaan yang menjadi ciri khas bulan Rajab dan Sya'ban. Ada juga berbagai cara yang di lakukan oleh umat Islam Nusantara untuk menyemarakkan syiar bulan Rajab dan Sya'ban tapi tidak bersifat ritual keagaan, hanya bersifat tradisi yang di adopsi dari kearifan lokal dan kemudia di adopsi oleh tokoh Islam setempat untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari "Adat istiadat" umat Islam setempat.

Sebagai contoh di daerah Jepara, untuk meyemarakkan malam Baro'atan (Beratan) di daerah sekitar Kecamatan Kalinyamatan dan Kecamatan Pecangaan, ada tradisi unik yaitu membuat lampion dan berbagai kreasi mobil-mobilan yang terbuat dari kerangka bambu dan di lapisi kertas minyak transparan, agar bisa tembus cahaya saat di nyalakan lilin di dalam nya di malam hari, kemudian anak-anak kecil dan muda- mudi pawai keliling kampung untuk ikut memeriahkan malam beratan ini, seru dan menyenangkan. Ada juga contoh di daerah Tegalsambi masih di Kabupaten Jepara, juga ada acara adat berupa obong-obongan, kegiatan ini menjadi tradisi turun temurun yang menandai syiar nya bulan Ruwah.

Meskipun akhir-akhir ini sebagian dari kalangan Muslim puritan sedang getol melabeli berbagai kegiatan Khas Muslimin Nusantara dengan label "sesat" ,"Bid'ah" dan "Tidak islami", terlepas dari apakah semua cara yang di lakukan oleh kalangan Muslimin tradisional itu islami atau tidak?, namun bagi kami ada hal penting yang bisa kita garis bawahi untuk kita jadikan sebagai tauladan di saat ini, yaitu kemampuan beradaptasi dengan tradisi lokal masing-masing yang di lakukan oleh para tokoh agama di saat itu, perlawanan terhadap kearifan lokal adalah bentuk perlawanan yang justru akan menimbulkan penolakan kepada ajaran Islam dari masyarakat lokal itu, hal ini di sadari betul oleh para pendahulu kita. Kemudian di berbagai pesantren yang melaksanakan kegiatan tashawwuf juga ada kegiatan puasa sepuluh hari yang di laksanakan oleh para jamaah nya di sepuluh hari pertama di bulan Rajab, seperti di Pesantren Girikusumo, dll.

Memang aneka kegiatan tradisional yang di lakukan di bulan Rajab dan Sya'ban ini kalau di lihat secara sepintas tidak ada contoh konkret nya dari Kanjeng Nabi Muhammad saw. Namun justru di sinilah letak istimewa nya para kiai dulu.Mereka berani berijtihad untuk menjaga harmonisasi dengan tradisi lokal karena menurut mereka toh itu semua tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Justru hal ini malah menjadi jalan masuk untuk bisa di terima sebagai bagian tak terpisahkan dari komunitas lokal yang ada.Sehingga kemenyatuan semacam ini menjadi ruh bagi hidup nya Islam di tengah-tengah masyarakat yang ada.

Jadi usaha untuk mencerabut ajaran Islam dari tradisi lokal sama hal nya dengan usaha untuk mengasingkan Islam dari pemeluk nya, oleh sebab itu cara-cara yang seperti ini justru malah akan menjadikan Islam di jauhi dan di takuti oleh pemeluk nya sendiri. Sekalipun itu di niatkan sebagai usaha untuk memberangus bid'ah dan praktek keagamaan yang di cap sesat.Yang juga belum tentu cara semacam  itu juga benar.

1 komentar:

  1. Islam Nusantara jalan terus, resistensi terhadap Islam berjubah Arab (Wahabi) yang anti tradisi lokal atau local wisdom, dan juga westernisasi dari Globalisasi yang meninfiltradisi tradisi Barat. Justru Islam Nusantara yang kaya dengan sunnah hasanah dengan membungkus tradisi lokal dengan nilai-n ilai sumber dari Quran dan Hadits, wslm.

    BalasHapus