Kamis, 31 Maret 2011

ANTARA BUNGKUS DAN ISI


oleh Terong Gosong pada 07 Maret 2011 jam 17:47

الأعمال صور قائمة وأرواحها وجود سر الإخلاص فيها

(Amal itu [barulah] merupakan sosok yang siaga. Nyawanya adalah eksistensi rahasia ikhlas didalamnya)

-- Asy Syaikh Muhammad ibn 'Athoillah As Sakandary

Amal itu bungkus, rahasia ikhlas (kalau ada) isinya.

Haji Saiful Mudjab, Yogya, muballigh andalan warga NU pada masanya. Seusai pengajian, suatu kali, shohibul hajat tidak hanya menyelipkan amplop ke tangannya, tapi masih ditambah dua kardus berkat: yang satu besar, satunya lagi kecil.

Sesampainya di rumah, Pak Saiful Mujab memberikan kardus berkat yang kecil kepada sopirnya.

"Nih! Jatahmu!" katanya. Toh si sopir baru beranak satu. Tak banyak mulut yang menunggunya di rumah.

"Terimakasih, Yai!" jawab sopir, lalu buru-buru pulang setelah memasukkan mobil ke garasi, karena sudah larut malam.

Pak Saiful Mujab sendiri, seperti biasanya kalau pulang bawa berkat, segera membangunkan anak-isterinya sendiri,

"Berkat! Berkat!" ia sengaja mengeraskan suara.

Sembari masih mengucek-ucek mata, anak isteri pun merubung kardus besar yang diletakkan diatas meja makan. Dari ukurannya saja kelihatannya menggiurkan. Nyai Saiful membagikan piring-piring, lalu membuka tali rafia yang mengikat berkat itu.

"Haahh?!!!" mereka terhenyak hampir serempak.

Kardus itu hanya berisi nasi putih tanpa lauk sama sekali!

Dalam perjalanan mengantarkan Pak Saiful Mujab pada pengajian kali berikutnya, Sopir membuka bicara,

"Shohibul hajat yang kemarin itu royal sekali ya, Pak Kyai!" katanya, "jatah saya saja satu ingkung bakar seekor utuh! ... Kalau lihat ukuran kardusnya, jatah Pak Kyai pasti paling tidak tiga!"

Pak Saiful Mujab diam seribu bahasa...

Para pemimpin sejumlah "negara Islam paling berpengaruh" bertemu di Doha, Qatar, 2001. Diantara mereka adalah Presiden Abdurrahman Wahid dari Republik Indonesia. Mereka bersepakat untuk menggalang pertemuan rutin diantara mereka secara berkala demi meningkatkan kerja sama multilateral dan membicarakan berbagai permasalahan yang melanda dunia Islam pada umumnya. Telah mereka sepakati pula bahwa pertemuan berikutnya akan diselenggarakan di Jeddah, Arab Saudi. Hanya saja, masih ada perdebatan antara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi dan Presiden Pervez Musharaf dari Pakistan. Pangeran Abdullah menganggap cukup pertemuan Jeddah yang akan datang itu disepakati saja tanpa harus disebut secara eksplisit dalam deklarasi yang akan mereka umumkan. Pervez Musharaf ngotot agar hal itu disebut, untuk "menjamin komitmen semua pihak". Keduanya berdebat begitu sengit sehingga Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, Raja Qatar yang memimpin pertemuan mengalami kesulitan untuk menengahi.

Akhirnya, Presiden Abdurrahman Wahid angkat bicara.

"Ini soal bungkus dan isi", kata Presiden, "Deklarasi itu bungkus, komitmen kitalah isinya. Marilah kita semua lebih mengedepankan isi. Karena isi itu biasanya lebih penting daripada bungkusnya. Contohnya: BH!"

Semua orang tertawa tergelak-gelak. Sheikh Hamad yang sedang iseng meremas-remas kertas sampai tak sadar melempar kertas itu ke arah Presiden. Lalu buru-buru berdiri, menghampiri Presiden, minta maaf berluang-ulang sambil mengelus-elus pundaknya.

Gelak tawa lebih ramai lagi, menandai dipungkasnya perdebatan.

TAKUT


oleh Terong Gosong pada 31 Maret 2011 jam 16:14


Mengapa FPI begitu sukses dalam waktu begitu singkat? Karena masyarakat kita sudah sangat siap menerima keberadaannya. Tiga puluh dua tahun rejim Orde Baru mempergunakan rasa takut untuk mengendalikan kita, tentulah banyak orang yang sudah lama memimpikan kesempatan untuk gantian menakut-nakuti. Lebih dari itu, ketika terbiasa nguncis dibawah ketakutan, hidup tanpa rasa takut bagi banyak orang mungkin terasa hampa. Bagaikan sayur tanpa garam, atau ithik-ithikan tanpa cinta...

Apalagi yang dikibar-kibarkan oleh FPI adalah bendera-bendera keramat: syari'at, aqidah, jihad, dan sebagainya. Itu adalah bendera-bendera suci yang begitu dikibarkan langsung disujudi. Orang-orang 'alim sudah sejak lama mengajarkan pentingnya menangkap substansi ketimbang simbol. Tentang penegakan syari'at, misalnya, orang-orang pandai mengajak berpikir: syari'at yang mana, berdasarkan madzhab apa, atas wewenang siapa, dan seterusnya.

Tapi substansi itu  dalam dan rumit, sedangkan simbol-simbol jelas lebih kasat mata. Seperti kata Gus Shampton, "...melihat inti itu harus mikir, membedakan rasa terasi harus mikir, tapi kalau melihat label/lembaga mudah tanpa harus punya otak" [KLIK DISINI]. Dan sudah jelas pula bahwa orang bodoh itu lebih banyak ketimbang orang pandai.

Pernah kita dengar di suatu daerah ada sekelompok orang meneriakkan tuntutan agar selama bulan puasa segala warung dan tempat jual makanan dilarang buka di siang hari. Menurut mereka, itu demi menghormati bulan puasa dan kaum muslimin yang menjalankan puasa.  Tak ada tanda-tanda ada yang ingat bahwa tidak semua muslimin wajib berpuasa. Bagaimana dengan musafir? Perempuan yang datang bulan?

Belasan tahun yang lalu, jauh sebelum reformasi dan lahirnya FPI, tiga orang kiyai Rembang, Kiyai Asfani Toha, Kiyai Kholil Bisri dan Kiyai Mustofa Bisri, bepergian ke Bangkalan, Madura, untuk menta'ziyahi seorang kiyai yang wafat di sana. Waktu itu bulan puasa. Berangkat dari Rembang menjelang shubuh, sampai di Bangkalan saat dluha. Yang pertama-tama dicari adalah warung untuk sarapan. Toh sejak shubuh tadi Kiyai Kholil dan Kiyai Mus sudah jedhal-jedhul rokoknya.

Setelah agak lama berkeliling, didapatilah sebuah warung sederhana, salah satu dari sedikit sekali warung yang buka. Perempuan penjaga warung itu terlihat membungkuk-bungkuk dibalik meja jualannya, entah sedang sibuk apa.

"Permisi!" salah seorang menyapa.

Perempuan itu mendongak dan mendapati tiga orang berkopiah putih lengkap dengan sorban. Seketika darahnya membeku. Wajahnya pucat pasi. Tanpa sepatah kata, perempuan itu menyincing tapihnya dan melompat kabur lewat pintu belakang!

Kiyai-kiyai Rembang itu terpaksa tetap menahan lapar sampai selesai ta'ziah, ba'da ashar hari itu. Entah mana yang lebih disesali: menyulut rokok atau memakai kopiah putih dengan sorban?

Letak Surga Di Mana?...

Suatu hari saat mengajar mahasiswa di Pasca sarjana di UGM, Prof. DR. Damardjati Supadjar (Pakar filsafat Islam Jawa)  sedang menjelaskan mengenai surga dan neraka, namun beliau melihat gelagat yang tidak baik dari mahasiswa nya, mereka kurang semangat mengikuti mata kuliah yang di bawakan oleh beliau. Malah ada beberapa mahasiswa yang kelihatan ogah-ogahan mendengarkan ceramah beliau. Menyadari hal ini, maka sang Profesor tidak kurang akal untuk memancing semangat dari murid-murid nya di kelas itu. Mulailah keisengan beliau, namun di awali dengan gaya yang sok serius, sambil membuat sebuah pertanyaan sederhana, "Berbicara mengenai Surga, saya  punya sebuah pertanyaan, di manakah letak surga itu?"  Begitu tanya Pak Profesor ini.  Tentu nya ini pertanyaan kelakar, demi memancing penasaran dari mahasiswa nya.

Mendengar pertanyaan yang sangat mudah ini maka para mahasiswa dulu-duluan untuk mengacungkan jari nya untuk menjawab, Maka di persilahkan mereka satu persatu untuk menjawab pertanyaan dari nya, "Prof, Surga ada di telapak kaki ibu", Kata salah seorang mahasiswa di sudut ruangan, "kurang tepat", sanggah pak Damardjati, sambil mesam - mesem. Lalu di lanjutkan pada seorang mahasiswa lagi, dia menjawab:"Surga ada di alam baqa". "salah mas,jawaban nya" sanggah profesor lagi. Kemudian ada lagi yang menjawab: "Surga ada di atas langit ke tujuh". "Masih kurang tepat dik". Kata pak Damardjati lagi. Akhir nya semua nya menyerah dengan tebakan dari pak Kiai ini.

Setelah semua bungkam, maka profesor menjawab sendiri pertanyaan nya, "Wah kalian ini kebangetan, mosok pertanyaan begitu saja tidak bisa di jawab". Pancing nya, merasa di ledek seperti itu akhir nya mahasiswa kemballi antusias mendengar dan menunggu jawaban dari pak profesor nya. "Surga itu ada di pangkal paha ibu"  terang pak Profesor, membuka tabir dari pertanyaan nya. Mendengar jawaban yang tidak di duga-duga ini maka seluruh isi kelas tertawa  gerrrrr..... dan akhir nya kembali semangat lagi. ono-ono wae......

Rabu, 30 Maret 2011

Islam Gaya Kampungan (2)

Bagi Yu Temen, istri dari Kang Wiji yang sama-sama tidak mudeng tentang syarengat, -begitu biasa nya pasangan ini menyebut Syariat Islam-, "urep iku mung mamper ngombe".  Hidup adalah numpang minum, hanya sebentar dari sekian panjang nya perjalanan hidup manusia yang akan di tempuh, oleh sebab itu bagi nya tidak perlu ngoyo mencari dunia. "Toh nanti akan di tinggal juga", kata  Yu Temen. Malu aku pada kepasrahan keluarga ini, mereka hidup tidak seperti keluarga terdidik yang serba terencana, baik dalam mencari nafkah, membelanjakan nya dan semua perhitungan nya.

Pernah suatu hari di meja makan reot di sudut dapur mereka yang ada hanya sepiring singkong rebus, dan saat Kang Wiji pulang macul dari pekarangan Den Joyo, karena dari semenjak subuh dia memang tidak nyarap dulu, maka sesampai nya di rumah dia langsung membuka tutup makanan yang ada di atas meja, namun setelah yang di temukan hanya sepiring singkong rebus, Kang Wijipun hanya mbatin dalam hati nya "Urep opo onone, rak usah karep". Begitu dia ngeyem-ngeyemi diri nya. Bagi Kang Wiji, apapun sudah di kehendaki Tuhan jadi kita tinggal menjalankan. Sungguh sebuah kepasrahan yang sempurna. Tidak seperti kebanyakan dari kita yang sok tau dan selalu menpertuhankan  apa saja yang kita rencanakan semua  dengan serba kalkulasi logika. Pada hal Tuhan lah yang maha tahu apa yang baik untuk kita dan apa yang buruk buat kita.

Malam itu, saat acara Muludan yang di laksanakan seminggu sekali, di Langgar kampung, ibu-ibu dan suami-suami mereka ikut hadir semua, tak ketinggalan Yu Temen, dan suami nya. Begitu juga Kang Kaji dan istri nya hadir di barisan kelompok elite kampungan di sana, tidak ketinggalan, meskipun hanya sebungkus kerupuk, atau opak rata-rata mereka membawa nya sebagai tentengan di tangan, pernah suatu saat, ibu-ibu pada membuat kesepakatan untuk mengintip siapakah kira-kira yang pulang tidak membawa wadah makanan ringan?. Walaupun diam-diam, namun mata mereka jelas sekali sedang jelalatan untuk memperhatikan, meskipun tidak di komando namun seragam nyata nya. Dan akhir nya mata mereka menemukan seorang perempuan yang tidak membawa wadah untuk di bawa pulang lagi, eh ternyata istri Kang Kaji. Karena rumus yang di sepakati oleh mereka, kalau orang tidak bawa wadah berarti dia tidak bawa makanan, dan barang siapa yang tidak bawa makanan untuk muludan maka dia adalah makhluq paling pelit. Benarkah?

Suatu saat Ketika anak dari Kang Wiji pulang mondok di sebuah pesantren, maka saat itulah saat yang paling berat bagi keluarga ini, karena mereka harus menyiapkan sekarung  beras dan beberapa puluh ribu uang untuk di jadikan bahan makanan di pondok nya. Karena sudah terlalu pusing, namun optimisme Kang Wiji selalu tumbuh, bagi nya walaupun harus ngutang ke tetangga, demi anak nya dia tetap rela, "Anak polah bopo kepradah" mungkin itu yang ada dalam pikir nya. Setelah ke sana ke mari, akhir nya harapan satu-satu nya ya cuma Den Joyo, "Den kulo butuh arto, saya minta pekerjaan besok di bayar di depan". Kata kang Wiji di depan Den Joyo. Maka akhir  keluarlah beberapa lembar dari kantong Den Joyo untuk Kang Wiji. Berangkatlah anak Kang Wiji esok hari nya demi menuntut ilmu di sebuah pesantren kata Yu Wiji:"Yo ben wong tuone bodho neng anak'e mugo-mugo ora" . Meskipun dia punya rencana yaitu anak nya agar pintar namun dia masih tetap bergantung pada Gusti Allah dengan kata Mugo-mugo ora, bagaimanapun semua adalah  rencana Tuhan.Maka dia harus tetap bergantung pada Nya.

Selasa, 29 Maret 2011

Mbah Maridjan dan Konsistensi Islam Jawa

Islam jawa adalah salah satu dari sekian banyak warna-warni Islam yang mengalami proses pembumian dan sinkretisasi dengan kepercayaan dan budaya lokal. Seiring dengan ekspansi Islam ke seluruh penjuru dunia tak ketinggalan tanah jawa, masuk nya Islam yang di pelopori oleh walisongo agar bisa di terima oleh mayoritas penduduk jawa dan penguasa nya maka Islam yang di kenalkan ke jawa adalah Islam yang santun, dan tidak memusuhi ajaran dan ritual jawa yang pada saat itu di kuasai oleh agama Hindu dan Budha, sepanjang tidak bertentangan dengan esensi ajaran Islam.

Bahkan untuk beradaptasi dengan ajaran dan keyakinan masyarakat setempat Wali songo mengesampingkan hukum-hukum syar'i seperti Sunan Kudus (Sayyid Ja'far sodiq) melarang santri dan pengikut nya untuk menyembelih sapi  karena dalam pandangan  dan ajaran Hindu sapi adalah binatang yang suci dan beliau menawarkan kerbau sebagai binatang pengganti nya untuk berpesta, secara sepintas dari sisi syar'i tindakan Sunan Kudus  ini menyimpang karena sudah melarang hal yang halal, tapi dari segi strategi dan untuk harmonisasi dengan ajaran Hindu pada saat itu tindakan itu bisa di maklumi.

Sebagaimana yang sekarang kelihatan sekilas tamapak konyol,adalah tindakan Mbah Maridjan yang tetap masih bertahan pada saat merapi meletus, maka untuk memahami hal ini kita harus melihat nya dari sisi Islam Jawa, apa yang di lakukan oleh Mbah Maridjan itu adalah bentuk dari kosistensi beliau dalam mengaktualisaiskan Islam Jawa. Setelah di angkat sebagai pemimpin ritual di gunung Merapi (bukan sekedar juru kunci) Mbah Maridjan memahami apa yang di lakukan nya adalah aktualisasi dari ajaran Islam jawa nya.

Sejalan dengan melemah nya pengaruh ajaran pra Islam yang menganggap gunung sebagai sang penguasa, maka tradisi selametan di Merapi masih tetap di lakukan namun ruh nya di isi dengan ruh Islam jawa, yang menganggap bahwa Merapi itu di bawah penguasaan "Seng mbaurekso" Yang menguasai yaitu Tuhan (Robil alamin). Hal ini bisa kita lihat dari kehidupan keseharian Mbah Maridjan yang masih tetap menjalankan sholat lima waktu secara taat. Bahkan beliau itu menjadi pengurus syuriah sebuah lembaga keislaman NU. dan pada saat di tanya agama nya apa?, beliau menjawab sambil berseloroh bahwa agama nya adalah NU.

Bagi Mbah Maridjan " Seng mbaurekso" adalah Tuhan, dan beliau berusaha untuk konsisten dalam menjalankan tugas sebagai abdi dalem keraton Ngayogjokarto, dan di satu sisi beliau tetap konsisten sebagai seorang muslim Jawa yang tetap bersujud mohon pertolongan pada Allah swt. dalam kondisi yang sangat gawat sekalipun, bagi sementara kalangan apa yang di lakukan oleh Mbah Maridjan itu adalah tindakan konyol tapi bagi orang yang memahami sisi ke "Islam jawa" an  Mbah Maridjan maka akan memahami nya.

Apa yang di jalankan oleh Mbah Maridjan sebagai pemimpin ritual di Merapi merupakan bentuk transformasi Islam Jawa, demi menjaga harmonisasi sosial. Dia tetap melakukan upacara adat, tapi ruh upacara itu di isi dengan tauhid.Bahkan ke tauhidan Mbah Maridjan di buktikan samapi beliau wafat.
Jadi bagi sebagian kalangan yang menganggap bahwa tindakan Mbah maridjan sampai wafat itu adalah tindakan konyol dan tragis mohon berbaik sangka saja. karena perspektif yang di pakai oleh Mbah Maridjan sudah pasti berbeda dengan anda.

Kapan Saat Nya Nonton Serius?

Kata Cak Nun, dalam salah satu buku nya, "Humor itu serius", begitu juga tulis nya Kang Sobari, "Dagelan juga serius", lho koq bisa, sanggah seorang teman, menyangkal nya, dan mencoba meminta apa alasan nya? . Desak si teman ini. Bagi saya, memang dagelan itu serius, baik oleh pelaku yang ndagel dan yang menonton nya. Bayangkan saja, sebuah pekerjaan yang di tuntut untuk mengocok perut penonton, dan memancing tertawa dari si pemirsa, maka para pelaku nya membutuhkan cara, dan akal tersendiri bahkan talenta yang tidak di miliki oleh sembarangan orang, bahkan sekolahan nya pun tidak ada.

Penonton tidak perduli, bagaimana suasana hati dagelan yang sedang di tonton nya, apakah sedang sedih, gelisah, merana atau nelangsa, pokok nya tuntutan mereka satu, buat kami tertawa begitu kira-kira. Oleh sebab itu dagelan butuh cara serius untuk bisa di guyu dan di sorakin penonton nya, semakin di sorakin maka semakin sukses kerja mereka. begitu kira-kira standar nya pekerjaan humoris.

Begitu juga bagi penonton dagelan,dia butuh konsentrasi untuk bisa tertawa melihat tontonan yang kocak dan lucu. Seandai nya kita sedang menonton sebuah acara humor di TV, dan kita tidak serius, maka di jamin kita tidak akan bisa tertawa, tersenyumpun tidak. Oleh sebab itu keseriusan di butuhkan di saat melakukan pagelaran dagelan bagi pelaku nya, dan saat menonton dagelan bagi penonton nya.

Namun ada hal yang tak perlu keseriusan dalam menonton nya. yaitu saat menonton tingkah laku para politikus, baik yang benar-benar berpolitik (walaupun pura-pura)  mengurus pemerintahan dan negara, maupun para pemangku jabatan non politis, seperti Pejabat di PSSI dan lain nya,tapi jabatan nya selalu di tarik-tarik ke dunia politik. Semua nya itu tanpa membutuhkan keseriusan saat menonton nya. Mereka sudah tampak lucu, dan menarik tertawa kita lebar-lebar, sambil menggerutu, "Gendeng kabeh".  Mungkin hal ini juga di karenakan, saat menjalankan tugas-tugas nya mereka juga tidak serius-serius amat, atau memang tidak serius sama sekali, alias babar blas, Jadi wajar bila hasil nya juga seperti pagelaran dagelan seperti yang di lakukan oleh Sule, Parto, Andre, dan Nunung cs. Yaitu  sebuah lelucon dan respon kita cukup hanya dengan mentertawakan.

Kalau tidak percaya, coba lihatlah tayangan perseteruan antara Ketua PSSI dan MENPORA, pasti senyum dari bibir anda akan tersungging dengan sendiri nya, tanpa harus serius, coba saksikan bagaimana prilaku pak NH dan ucapan nya, seperti nya merasa selalu di zalimi, padahal kita tahu, siapakah selama ini yang berbuat zalim. tapi saat di TV dia berbicara dar curhat bahwa dia sudah begitu sabar di zalimi, maka saat ini dia perlu untuk di kasihani dan di bela. hehehe.... tertawalah, mumpung tertawa belum di larang.

Minggu, 27 Maret 2011

Islam Gaya Kampungan

Di sebuah desa kecil di pelosok Kecamatan yang menjadi Penghasil Padi terbesar di sebuah kabupaten di pantura ini, masing-masing warga memiliki cara unik untuk memaknai dan mempraktekkan keislaman nya. Sebut saja ada seorang petani gurem, atau buruh tani bernama kang Wiji, seorang lelaki yang tak fasih mengucapkan dua kalimat syahadat ketika kawin dulu, tapi sampai sekarang kehidupan rumah tangga nya selalu di rasakan nya ayem, dan rileks. Istri nya yu Temen selalu setia menemani suami nya, kalau ada pekerjaan methal, ngaret, mathun, ngedhos dan lain sebagai nya. Sebuah profesi yang tidak pernah di hargai di negeri ini, yaitu petani di lakoni nya dari sejak masih remaja, sampai sudah beranak tiga, mereka selalu istiqomah melakoni nya.

Di sisi lain ada sebuah keluarga yang di isi oleh sekelompok orang yang agak religius, Pria ini biasa di sebut kang Kaji, karena memang dia sudah lebih beruntung melaksanakan dan menunaikan rukun Islam yang ke lima ini, maka nama nya pun berubah menjadi Kaji, dan akupun tak tau siapa nama lelaki ini sebenar nya, Keluarga ini adalah juragan material, karena di samping rumah nya ada sebuah bangunan toko yang menyediakan bahan bangunan.Memang ilmu agama nya tidak sedalam tokoh sekelas Kiai pengasuh pesantren, tapi jelas dia santri fanatik.

Lalu ada den Joyo, dia adalah seorang pensiunan Lurah desa di sini,meskipun tidak memiliki trah keturunan darah biru tapi gaya priyayi nya selalu di tampilkan nya untuk selalu menjaga prinsip hidup nya "Ajineng rogo songko busono" Bahkan untuk menjaga kesan kepriyayian nya dia sengaja membuat pagar rumah nya agak tinggi dan di pasangin gapura seperti gaya bangunan keraton.Begitulah tiga sosok berbeda di desa ini yang mewakili kelompok nya masing-masing.

Kang Wiji, sering mburuh pada Kang kaji, mengangkut pasir,semen, dan bahan material lain nya, di sela-sela pekerjaan nya sebagai petani gurem,hasil dari nguli ini lumayan untuk di jadikan penopang dapur rumah nya, juga bisa di jadikan sebagai penawar bibir manyun nya Yu Temen.Tapi akhir-akhir ini ada gelagat tidak betah dari diri Kang Wiji. "Aku wes tidak betah di ceramahi terus, buk" .katanya suatu hari,Ya sudah, Yu Temen manut saja.Apa mau nya Kang Wiji.

Kang wiji yang oleh Kang Kaji di anggap abangan itu sebetul nay bukan anti agama, Jauh di dasar hati nya dia itu sangat Islam. Sering dia berseloroh: "Rak mung mergo dereng nindakke"  Hanya karena belum mampu menjalankan (Syariat Islam. Khas ungkapan keagamaan petani Jawa yang buta huruf. Di banding Kang Kaji dan Den Joyo, Kang Wiji hanya setingkat punokawan,orang mudah menyuruh-nyuruh dan mentertawakan nya.Dan seperti layak nay punokawan,ia sering lebih suka menertawakan diri sendiri atau orang lain, ia pun bisa sinis,pandai ngekick balik jika mau.Tentu saja itu bila tak langsung berhadapan.

Umum nya, ketika memanggil pak haji ini dengan panggilan "Kajine" secara harfiah bermakna Haji nya, terasa dari kata ini ada sinisme yang tandas. Tiga orang ini mewakili tiga varian Abangan, Santri dan Priyayi.Sebagaimana di rumuskan dalam The Religion of Jawa Oleh Clifford geertz yang mashur itu. Sebagai santri Kang Kaji dan keluarga nay sangat berpegang teguh pada ajaran, dan terkadang lebih formalistik, seperti prinsip nya agar membayar upah buruh sebelum keringat nya kering.Dan semua buruh-buruh nya suka dengan ketepatan nya menggaji.Namun di satu sisi dia juga pantang memberi pinjaman uang.

Memang Kang Kaji murah dalam berbagai hal, murah senyum, murah menasehati, dan murah ceramah.Namun dalam hal uang, Kang kaji sangat hati-hati, untuk tidak menyebut pelit, karena dia pedagang, maka semua nya di anggap perdagangan, termasuk urusan dia dengan Tuhan nya. Pernah suatu ketika Istri Kang Wiji, Yu Temen, melahirkan, maka suami nya memutuskan untuk berani meminjam uang kepada Kang Kaji, namun malah di jawab dengan "Sebaik-baik harta adalah hasil cucuran keringat, bukan hasil pinjaman". Kecewa juga hati nya Kang Wiji,jadi makin berani dia menyebut Kang kaji dengan "Kajine".

"Kamu itu kebageten kok kang", Tegur Kang kaji suatu hari, di saat melihat Kang Wiji merokok di bulan puasa, "Lha kenapa to Ji ? ". Sanggah nya, tidak merasa bersalah, "Itu kamu merokok di depan orang banyak saat puasa" Kang Kaji beralasan, maka suasana kemudian menegang, dan akhir nya kang Wiji menjawab "Lha sampean bisa begitu itu khan karena wes sugih, coba kalau nasib nya seperti aku" .  kemudian Kang kaji ngalah, dan meninggalkan nya di situ.Namun di dalam hati nya dia merasa Kang Wiji sudah nranyak jauh dan melanggar norma-norma agama.

Den Joyo, juga seorang kaya, dia memiliki banyak sawah di desa itu, banyak sekali buruh nya di sawah, rata-rata sudah berumur uzur, karena memang sawah sekarang tidak menarik lagi di mata remaja dan pemuda desa ini. Semenjak kejadian itu Kang Wiji menjaga jarak dengan Kang Kaji, dia lebih sering memilih minta tolong dan ngutang ke Den Joyo. Dia semakin dekat dengan Den Joyo, selain bisa makan dan ngopi di pawon nya sekenyang nya, Den Joyo juga mudah kalau di sambat, dan di mintain tolong, misal nya minta di bayar di muka sebuah pekerjaan.Sifat begitu memang yang di harapkan oleh wong cilik dari priyayi kaya, dan di "bayar" dengan penghormatan yang tulus dari mereka, bukan basa-basi.

Rupa nya benar kata James Scott, Orang kaya di akui sah kekayaan nya hanya bila ia murah dan dermawan pada yang miskin. Aneh nya kemurahan Den Joyo di kritik oleh Kang Kaji dan di anggap sebagai perbuatan tidak mendidik.Hanya membuat orang ketergantungan dan membuat orang macam kang Wiji tambah malas saja. Den Joyo pura-pura tidak mendengar kritikan itu, dia tau Kang Kaji sedang berusaha menutupi sifat pelit nya saja.Meskipun begitu hubungan mereka tetap baik, bukti nya ketika Den Joyo sakit, maka Kang Kaji menjenguk nya dengan membawakan Jamu. Sakit Den Joyo sembuh, tapi sakit lain nya kambuh, yaitu sakit hati saat Kang Kaji menasehati nya dengan ketus, "Den, sakit sampean bisa sembuh kalau mau shalat tekun, shalat lah sebelum di shalati". tegas nya di depan Den Joyo.
Hati nya Den Joyo tersinggung, dan di dalam hati nya dia berkata: "Apa cuma kaji doang yang punya Tuhan? " . Tapi itu tak di tunjukkan oleh Den Joyo, sikap nya tetap baik, sebagai sesama warga desa itu.

Rabu, 23 Maret 2011

Saat Nya Pesantren Menentukan Jenis Kelamin Nya

"Al 'ilmu katsir wal 'umru qoshir, fa khudz minal 'imi ma tahtaju ilaihi fi amri dinika" (Ilmu itu banyak dan umur itu sedikit, maka ambillah dari ilmu apa yang kamu butuhkan dalam urusan agama mu)  .Salman Alfarisi -rodliyallahu 'anhu- . Demikian lah pesan salah seorang sahabat nabi yang sangat cerdas ini, kata mutiara ini dulu di jadikan "tag line" oleh  almaghfur lah KH.M.Nazhif Zuhri Lc. pengasuh pesantren Salaf Girikusuma. Seperti kata "yamaha semakin di depan" yang di jadikan tag line oleh icon merk  salah satu produk sepeda motor Komeng. Penyebutan sebuah iklan ini bukan bermaksud apa-apa cuma sekedar untuk memudahkan ingatan kita saja tentang penting nya sebuah tag line.Bahkan dalam setiap kesempatan Mbah Nazhif tidak bosan-bosan nya untuk berpesan agar selalu memperhatikan di manakah pesantren harus memprioritaskan garis kebijakan dan khittah nya. Baik dalam forum resmi seperti khutbah iftitah dan khutbah ikhtitam. ataupun dalam forum pengajian di depan santri-santri nya, pesan Sahabat ini selalu di sampaikan dengan berbagai alasan dan argumentasi  nya.

Peringatan dari Sahabat yang cerdas ini penting untuk kita jadikan bahan diskusi, karena dari sinilah kita bisa berbagi ilmu pengetahuan untuk mencari kesimpulan yang tepat dalam menentukan bagaimanakan seharus nya pondok pesantren bersikap. karena sekarang ini pesantren sebagai lembaga pendidikan seakan gamang, dan susah untuk mementukan apakah jenis kelamin nya?... Apakah pesantren harus menjadi seperti sebuah toserba yang menyediakan segala nya, sehingga akhir nya menyelenggarakan segala macam jenis lembaga pendidikan dari yang tradisional dan murni agama, sampai yang sekuler yang hanya mengajarkan ilmu keduniaan dan mengajarkan tentang skill saja. Atau pesantren harus membatasi diri dan tetap konsisten untuk menjadi lembaga tafaqquh fiddin semata?..

Ada banyak hal yang perlu di pertimbangkan oleh pengasuh sebuah pesantren dalam menentukan hal ini, ketika harus menjadi seperti toserba maka pesantren harus bisa menjadi benar-benar profesional dan tidak hanya latah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pasar saja, tapi kesiapan penyelenggara pendidikan pesantren yang berjenis kelamin "umum" ini benar-benar harus siap dengan segala konsekwensi nya, namun kenyataan nya masih banyak pesantren yang gagap dengan hal ini, karena kalangan mereka tidak memiliki tenaga yang profesional yang bisa menyelenggarakan pendidikan jenis ini, akhir nya mereka merekrut tenaga pengajar yang tidak berlatar belakang pesantren yang tidak mengerti bagaimanakah seharus nya pola hidup dan tradisi pesantren, dan akhir nya lambat laun jati diri pesantren hilang dan terkikis sedikit demi sedikit karena tidak ada contoh dan panutan dari figur guru-guru nya. inilah masalah yang di hadapi oleh kebanyakan pesantren yang bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan yang umum. Jadi seakan tidak ada bedanya antara pesantren dan madrasah lain nya yang di selenggarakan oleh masyarakat secara swadaya.

Oleh sebab itu di butuhkan langakah koreksi diri, karena hal ini sudah sering di keluhkan oleh orang tua santri yang sudah terlanjur berharap banyak pada kemampuan pesantren, namun kebanyakan dari mereka merasa kecewa karena ternyata hasil nya tidak seperti yang mereka harapkan semula, ini bukan berarti keputusan yang di ambil salah, namun harus segera di cari solusi nya.Jangan sampai nanti orang tua santri berkesimpulan bahwa pesantren sama saja dengan sekolah umum yang secara itung-itungan nya bisa jadi biaya nya lebih murah di banding biaya hidup di pesantren. Dan akhir nya mereka meninggalkan pesantren karena kecewa.Terlepas dari kharisma Kiai pengasuh pesantren. Kualitas lulusan menjadi kata kunci yang perlu di perhatikan di sini.

Kalau pesantren tidak siap secara profesionaldalam mengelola pendidikan yang mandiri dan berkualitas baik dari segi infrastruktur dan tenaga pendidik nya namunmenjual dan hanya mengandalkan kharisma tokoh semata, maka sebaik nya pesantren istiqomah untuk bertahan dalam khittah nya sebagai lembaga tafaqquh fiddin. Mungkin ini terkesan terlalu idealis dan eksklusif, namun dengan begini maka pesantren hanya bertanggung jawab pada proporsi nya saja. Ibarat pepatah "wong legan golek momongan" seandai nya pesantren tidak mampu menjalankan tugas tambahan yang di emban oleh nya, karena membuka pendidikan umum yang tidak sepantas nya di lakukan nya.

Konsistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, menjadi sangat terhormat di mata ummat, seandai nya di jalankan secara baik, arti nya mampu menelurkan santri yang mumpuni dalam hal ilmu agama nya,baca kitab kuning nya, dan akhlaq nya. Misi ini sangat penting untuk di prioritaskan karena di tengah mayoritas masyarakat yang sudah tidak peduli pada kelestarian ilmu agama, maka harus ada pihak-pihak yang menjadi inisiator untuk selalu menjaga kelangsungan ilmu agama, karena kelangsungan sebuah ajaran hanya bisa di tempuh dengan mengajarkan nya dari satu generasi ke generasi berikut nya secara konstan dan konsisten. Jadi bisa kita simpulkan bahwa menentukan jenis kelamin pesantren sebagai lembaga tafaaquh fiddin menjadi sangat terhormat sekali.

Memang bisa lebih baik kalau pesantren bisa menyediakan aneka macam jenis pendidikan dari ilmu agama, sampai ilmu sekuler, seperti sebuah universitas, namun lagi-lagi masalah nya tenaga pendidik nya masih belum mampu di siap kan oleh pesantren.

Metamorfosa Islam

Islam adalah agama yang di wahyukan oleh Tuhan kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. Melalui proses historis yang panjang, selama hidup nya Nabi, wahyu selalu di berikan oleh Allah mulai dari ayat pertama yaitu: "Iqro'" sampai ayat yang terakhir yaitu ayat:"Alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu 'alaikum ni'mati wa rodlitu lakumul islama dinan" (QS.Almaidah 3). Wahyu di jadikan sebagai pemandu hidup Kanjeng Nabi sesuai dengan kebutuhan hidup nya selama menjalankan tugas sebagai Rasul yang berinteraksi dengan masyarakat sekeliling nya, baik berkenaan dengan urusan peribadatan sampai urusan keduniaan ummat Islam. Dalam Ilmu tafsir ini di kenal dengan asbabunnuzul.

Setelah berabad-abad Islam mampu berekspansi ke beberapa wilayah, seperti Persia, Afrika, Eropa dan Asia. Dalam proses ekspansi nya itu Islam berinteraksi dan berpenetrasi dengan budaya, tradisi dan local wisdom yang telah mengakar kuat di dalam masyarakat setempat masing-masing, sehingga akhir nya muncullah warna keislaman yang tidak murni lagi arti nya yang bercorak kearaban sesuai wilayah lahir nya agama ini, dan bahkan pada akhir nya warna Islam di masing-masing daerah menjadi berbeda satu daerah dengan daerah yang lain.

Seperti warna Islam yang berkembang di Persia yaitu di Iran dan sekitar nya yang dominan adalah warna Islam yang Syi'ah, kemudian warna Islam yang berkembang di wilayah India maka warna nya akan dominan beraliran Ahmadiyyah, sementara warna Islam yang berkembang di Asia juga akan berwarna sesuai tradisi yang berkembang di Asia seperti corak warna Islam di Jawa yang cenderung sinkretis dengan ajaran kejawen.

Dan kalau kita mau jujur, warna keislaman di Indonesia sendiri di masing-masing daerah akan berbeda satu sama lain, seperti Islam Jawa dengan Islam yang berkembang di Sulawesi, Aceh, Sumatra.dan seterus nya.Semua nya bercorak khas sendiri-sendiri. Hal itu sangat wajar terjadi karena hidup adalah merupakan proses interaksi antara satu kelompok kepada kelompok yang lain, yang nanti nya akan menimbulkan konsekwensi logis ada nya perkawinan tradisi dari yang datang dan yang di datangi.

Justru menurut hemat kami ,hal ini justru menjadi konsekwensi dari proklamasi Islam yang mengaku sebagai ajaran yang universal, yang bisa masuk ke wilayah dan daerah lain manapun,tanpa harus hilang dasar-dasar ajaran nya, jadi akan terasa aneh dan sukar di terima apa bila Islam datang tiba-tiba dan kemudian berlaku semena-mena, mengaku benar sendiri,dan mempersalahkan tradisi lain di luar Arab. Bisa di bayangkan apabila dulu Nabi Muhammad saw. waktu mendakwahkan Islam secara sporadis, pasti Nabi tidak akan mendapatkan pengikut.

Begitu juga ketika Walisongo menyebarkan Islam di tanah Jawa, maka strategi yang dilakukan ialah dengan mengadopsi tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam, bahkan di isi dengan substansi Islamy sehingga akhir nya Islam menjadi agama mayoritas di tanah Jawa. Jadi harus di ingat bahwa Islam itu bersifat universal bukan hanya tumbuh di timur tengah tapi juga tumbuh di Qadian atau India, Persia atau Iran, Asia, Eropa, Amerika, dan Afrika. Sehingga kemampuan Islam untuk berakulturasi dan beradaptasi pada budaya lokal lah yang menjadikan Islam itu besar dan di terima sampai ke segala penjuru dunia.

Kita ambil contoh, Islam yang berkembang di Indonesia sebagaimana yang di kembangkan NU dan Muhammadiyyah, adalah Islam yang moderat (tasamuh), maka nya bisa di terima di mayoritas warga Indonesia, namun Islam yang di bawa oleh Wahabi,atau salafi karena di dakwahkan dengan semangat puritan maka nya susah berkembang.

Kemudian untuk bisa memahami kenapa ada Ahmadiyyah yang memiliki faham tersendiri maka dari sisi ini, kita bisa memulai nya, anggaplah Ahmadiyyah itu seperti NU, maka kita akan bisa mengerti kenapa faham nya tidak murni seperti yang di standarkan oleh Mayoritas Islam yang menggunakan kiblat gaya Islam timur tengah. Menurut mereka kalau yang di anggap "salah" adalah pengakuan akan "kenabian" Mirza Ghulam Ahmad, maka menurut mereka kenabian MGA itu bukan seperti kenabian Muhammad, Isa, Musa ,Ibrahim dan lain nya. Kalau kenabian Nabi muhammad adalah Nabi Mustaqil maka kenabian nya MGA adalah Nabi ummaty. artinya manusia biasa yang hanya mendapatkan ilham, seperti kalau di NU ialah Ulama' yang di walikan, sehingga segala ucapan nya di anggap sebagai kebenaran yang harus di dengarkan. Kalau kita warga NU atau pesantren maka akan bisa memahami ini, bagaimana posisi Kiai di hadapan santri nya.(Zuhairi Misrawi).

Oleh sebab itu harus ada dialog yang bisa membuka wacana di antara kita, dan akhir nya kita tidak di liputi oleh kesalahpahaman (su'udzon) antar kita, apalagi kalau sudah mendengar provokasi dari para Muballig  yang saya yakin pengetahuan dan informasi nya tentang Ahmadiyyah juga minim,dan miring sehingga yang keluar dari dakwah nya adalah provokasi dan agitasi.

Semoga damai di bumi ini. amin

Makna Al ahruf Al Muqotto'ah


oleh Tamami Rusdi pada 24 Februari 2011 jam 18:07
Dalam Al Qur'an ada banyak surat yang di buka dengan hanya menyebutkan  huruf-huruf Hijaiyyah yang tidak bersyakkal (harokat) seperti Alif Lam Mim yang ada di awal Surat Albaqoroh, atau Ya Sin di awal surat Yasin, dan ada banyak lagi surat yang di awali dengan huruf yang terpotong-potong bacaan nya (karena tidak di washol /sambung dengan huruf berikut nya) dalam ilmu tafsir hal ini sering di sebut dengan istilah: Al ahruf Al muqotto'ah. seperti Alif Lam Ro, Alif Lam Shod,Kha Mim, Kaf Ha Ya 'Ain Shod,  dan lain-lain.

Para Mufassir Klasik ada yang lebih memilih diam  (sukut) untuk mengambil jalan yang lebih aman dan menyerahkan hal ini menjadi rahasia Tuhan sebagai Dzat yang paling tahu semua kehendak (Irodah) nya. Karena memang ada banyak rahasia Allah yang tidak bisa di jangkau oleh akal dan kuasa manusia. Menyadari akan hal ini maka para mufassir ada yang berkesimpulan bahwa semua itu adalah rahasia Tuhan.Namun ada beberapa dari Al ahruf Almuqotto'ah itu di maknai sebagai salah satu dari sekian banyak nama kanjeng nabi Muhammad, seperti Yasin,dan  Khamim itu ada sebagian ulama' yang mengartikan nya sebagai salah satu panggilan Nabi.

Kemudian di antara Ulama  ada juga yang memaknai Al ahruf Al muqotto'ah ini sebagai bagian dari cara Allah untuk menarik perhatian orang arab, dan menggelitik keingin tahuan mereka terhadap isi dari kandungan Alqur'an. dengan cara menggunakan kata-kata yang tidak lazim di gramatika bahasa arab karena terdiri dari beberapa huruf yang tidak washol (nyambung dengan harokat dengan huruf berikut nya),dengan demikian mereka akan tertarik untuk berpaling kepada Alqur'an dan mempelajari isi nya, yang menjadi mu'jizat paling utama bagi Kanjeng Nabi Muhammad saw.Karena memang pada saat itu keutamaan orang arab di ukur dari kemampuan berbahasa nya yang indah, dalam syair dan lain-lain. Sehingga dengan cara ini Allah ingin menunjukkan pada masyarakat arab bahwa ALqur'an lebih indah,unggul dan menarik di banding karya mereka.karena memang yang di maksud dengan mu'jizat adalah: melemahkan dari akar kata A'jaza - Yu'jizu -I'jazan.

Menurut kami Al ahruf Al muqotto'ah kalau dalam konteks modern seperti sekarang ini, seperti PASSWORD dalam dunia IT.Password adalah beberapa digit huruf atau angka yang menjadi "entrance gate" atau pintu gerbang (palang pintu) untuk memasuki area yang harus di jaga,dan di amankan.Bagi orang yang mengerti IT maka akan tahu betapa penting nya sebuah password di dalam setiap file, yang harus di jaga keamanan nya.Password bukan hanya sekedar beberapa digit dari huruf atau angka yang tidak berarti sama sekali, namun justru sebalik nya memiliki arti penting dalam ilmu elektronik.dan kebanyakan password memang hanya di ketahui oleh si pemilik dan pembuat password itu. Begitu juga Alahruf Almuqotto'ah yang menjadi pembuka beberapa ayat di dalam Alqur'an juga menjadi pintu masuk untuk mengarungi lautan hikmah dan ilmu pengetahuan yang di kandung di dalam masing-masing surat.

Sehingga keberadaan nya menjadi sangat penting meskipun sekilas hanya terdiri dari beberapa huruf yang terputus-putus dan tidak memiliki arti secara bahasa (lughotan) karena memang tidak terangkai seperti kalimat dalam bahasa arab yang lazim di pakai oleh bangsa Arab pada umum nya.

Wang Sinawang

"Urip iku wang sinawang", demikian pesan Kiai Munif Girikusumo dalam sebuah pengajian. Hal ini juga yang aku cletukkan ke seorang teman lama yang alhamdulillah berkat FB bisa komunikasi lagi untuk mengenang masa lalu saat kami masih duduk di bangku kelas sekolah dasar. Karena beliau saat melihat profil dan foto yang ada di Facebook, kata nya: "Wah pak aku pangkling, maleh lemu dan kelihatan makmur", demikian kata teman ku sekolah dulu ini. Dan setelah aku coba buka-buka profil yang di miliki oleh dia ternyata dia tidak jauh berbeda dari diriku, gemuk, putih, dan tampan, pokok nya sempurna deh, dari sudut pandang ku.

Dan pada saat itu aku juga berkata pada dia:" Bos sampean juga kelihatan sangat makmur", mendengar itu, walaupun kami sama-sama tahu kalau pujian-pujian itu sebenar nya hanyalah sebuah basa basi yang keluar dari mulut kami masing-masing. namun dari pertemuan di alam internet itu kami bisa saling belajar banyak tentang diri kami masing-masing, saling tukar informasi, dan saling ingin kerja sama walaupun hanya dalam hal yang sebenar nya tidak terlalu berarti buat orang kebanyakan, namun bagi kami ini adalah sebuah pertemuan yang sangat berharga.

Dalam kesempatan itu aku melihat kesuksesan teman ku, dan dia juga merasa bahwa aku lebih sukses dari diri nya, itulah yang aku maksud dengan istilah "wang sinawang",yaitu pandangan saling mengagumi di antara kita, wang sinawang adalah hal yang wajar di lakukan oleh setiap orang, namun sikap ini bisa berakibat positif maupun berakibat negatif. Positif kalau kita mampu menempatkan nya secara proporsional, dalam arti tidak menyebabkan kita untuk iri, srei dengan teman kita.Sikap iri srei adalah sifat tercela yang sangat di anjurkan untuk di hindari baik oleh agama maupun oleh tatanan etika jawa kita.Dalam sebuah buku Falsafah hidup Jawa: sikap seperti ini di sebut sebagai sikap Mbuntut arit, atau sumur gumuling.Yaitu sikap orang yang ingin selalu memiliki kenikmatan dan rizki yang di miliki orang lain dengan berbagai dalih yang licik (Falsafah hidup jawa/Suwardi endraswara hal.30).

Wang sinawang juga bisa menyebabkan seseorang menjadi lebih baik, karena penglihatan kita terhadap kesuksesan teman nya adalah bentuk khusnudzan yang di anjurkan oleh agama, selama prasangka baik itu menjadi motivasi agar kita bisa menjadi lebih baik, dan meningkat dalam kesuksesan. Denagn demikian akhir nya kita bisa terpacu untuk kembali semangat dalam menempuh hidup, tidak mudah putus asa dan selalu optimis. Wang sinawang juga bisa menjadi sarana untuk interospeksi diri dan tadabbur, betapa Tuhan telah memberi anugerah pada masing-masing dari kita dengan bentuk dan proporsi yang di sesuaikan dengan kondisi dan kesiapan kita sebagai hamba nya. Sehingga dengan menyadari akan hal itu maka kita akan semakin yakin lagi dengan Wujud Allah SWT. Karena dalam sebuah hadits Qudsy Allah telah berfirman: "Ana 'inda zhanni 'abdi bi" (Aku-Allah- itu seperti prasangka nya hamba Ku pada Ku) Arti nya dengan selau berhusnudzan maka berarti kita juga selalu berharap Tuhan akan memberi yang terbaik pada diri kita masing-masing.

Muslim Abangan (Cara Beragama Kaum Awam)

Dalam sebuah kata pengantar  sebuah buku karya Muhammad sobari (Kang Sejo Melihat Tuhan) Gus Dur menyebutkan sebuah istilah "etika marginal", yaitu sikap beragama yang fluktuatif, terkadang berprilaku sebagai "santri" yang sangat taat menjalankan ajaran agama nya yang sempurna (kaffah) dan ideal, namun di satu sisi, dan di saat yang lain terkadang menjadi seorang muslim "abangan" yang dengan sekena nya dalam menjalankan ajaran agama nya.

Cara beragama yang seperti ini menjadi cara yang paling banyak di anut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. "Etika marginal" ini memiliki keindahan nya sendiri,dan juga keabsahan yang tidak bisa di sangkal oleh siapapun, kecuali agamawan yang berpandangan sempit,yang tidak dapat menerima selain "kebenaran mutlak" dari agama yang di peluk nya. Sikap seperti ini sekilas terkesan terlalu menerima relativitas kebenaran cara beragama yang konvensional,seolah-olah ini tidak melihat perlunya kedalaman rasa dan pikir dalam menjalani kehidupan beragama.

Apa lagi hal ini di perkuat dengan sinisme dan sarkasme yang di perlihatkan pada kehidupan beragama yang konvensional yang di laksanakan secara kaku, seperti kelakuan seorang yang sudah berstatus "haji" misal nya,walaupun dia sangat taat beribada namun dalam setiap beribadah dia ingin selalu menjadi imam dan di hormati, menurut kalangan abangan hal ini di anggap sebagai "tabu" dan tidak pantas. Kemampuan untuk beragama secara lentur yang tidak kaku dalam mengamalkan ajaran agama justru memperlihatkan kedalaman pemahaman dan komitmen orang kecil pada agama mereka.

Akhir-akhir ini ada gejala pemaksaan dan anggapan, bahwa dalam mengamalkan Islam, seseorang harus secara sempurna,sebagaimana firman Allah:"Udkhulu fissilmi kaffah" (masuklah kalian ke dalam Islam secara sempurna), apa bila tidak maka tidak sah keislaman nya. Memang benar dalam berislam kita di minta untuk sempurna, tapi dalam ayat lain Allah juga berfirman: "La yukallifu Llahu nafsan illa wu'aha" (Allah tidak pernah membebani seeorang kecuali semampu nya). Ayat ini bukan sekedar bisa di makanai beban berupa "cobaan" yang di timpakan kepada kita selaku hamba nya sebagaimana yang di fahami oleh sebagian dari kita, yaitu bahwa Tuhan itu tidak mencoba hamba nya kecuali sesuai kemampuan nya, lebih dari itu ayat ini juga menegaskan dan memproklamasikan bahwa Tuhan tidak memaksakan "Taklif" nya kepada seseoarng, perlu di ingat bahwa kata "taklif" dalam istilah fiqh itu di makanai sebAgai beban dan tugas berupa ibadah dari Allah kepada umat manusia.

Jadi rasa nya kita tidak perlu terlalu sok benar dengan merasa paling sudah islamy di banding laku agama orang lain. Karena masing-masing orang memiliki cara dan laku sendiri-sendiri yang sesuai dengan kadar keilmuan dan pengalaman spiritual nya,karena agama adalah sarana dan alat untuk menuju Tuhan,bukan tujuan hidup itu sendiri.Pencarian dan pengenalan akan Tuhan lah yang menjadi wahana utama kehidupan beragama.bukan nya penganutan ajaran agama secara "sempurna".Kalau cara pengenalan akan Tuhan di lakuakn secara beragama konvensional yang tuntas hal itu tentu sangat baik, katakanlah kondisi itu ideal dalam kehidupan beragama.Tetapi kalau pelaku agama tidak mampu melainkan hanya "beragama sekena nya" belaka hal itu tidak mengurangi sedikit pun keabsahan hidup beragama mereka. Bukankan dalam segala bidang dari dulu selalu ada elite dan orang awam termasuk juga di dalam nya kehidupan beragama.

Selasa, 22 Maret 2011

Sekali Islam Tetap Islam

Akhir-akhir ini kita di suguhi derama heroik" kelompok masyarakat yang "takut". Mereka takut kalau Islam di lecehkan oleh pemeluk nya sendiri, sehingga mereka merasa perlu untuk menjadi pembela bagi Islam. Bagi mereka menjadi pembela Islam adalah misi suci, meskipun dengan melakukan cara apa saja termasuk yang tidak Islami dan tidak terpuji.

Dan di sisi lain ada sekelompok masyarakat atau lebih tepat nya "komunitas" -karena jumlah mereka itu sedikit ketika di bandingkan dengan kelompok mayoritas- yang di anggap sebagai perongrong kewibawaan Islam. Keberadaan mereka di anggap sebagai musuh dalam selimut, atau sebagai duri dalam daging, bahkan di anggap sebagai orang munafik, agen yahudi,agen Israil, dan agen Amerika yang harus di berangus dan halal di bunuh. (naudzu billah min dzalik).

Kecurigaan semacam ini sengaja di bangun di atas rasa takut dan khawatir.Mereka takut dan khawatir eksistensi Islam di Indonesia akan hilang, (seperti nya kekhawatiran dan ketakutan yang tidak tepat). Terlepas apakah ada motif politis atau tidak, yang pasti gerakan pemberangusan komunitas yang di anggap merongrong kewibawaan Islam adalah "wajib" bagi mereka. Sehingga mereka merasa perlu untuk mengumandangkan nya di mimbar-mimbar pengajian khutbah Jumat, forum-forum dakwah dan lain nya. dan tujuan nya agar mind set jamaah nya terpola bahwa kelompok perongrong ini adalah musuh Islam bahkan lebih jahat dari orang non muslim, dan di harapkan ketika ada komando dari para "tokoh" nya mereka dengan mudah untuk di turunkan ke jalanan karena ini di anggap sebagai tugas suci pengantar ke surga.

Mereka tidak sadar, bahwa yang di lakukan oleh para intelektual muslim di JIL (yang rata-rata dari kalangan anak muda intelektual NU pasca Gus Dur) ini benar-benar tindakan demi melestarikan tradisi keilmuan dan intelektualisme Islam, adapun cara mereka dengan menggunakan rasio dan logika dalam setiap pembahasan keagamaan nya, itu adalah bagian dari keragaman cara yang dari dulu sudah di kenal dalam dunia Islam, hal ini bisa kita lihat dari banyak nya jumlah Madzhab, baik dalam Fiqh, Tauhid (kalam), Akhlaq (tashowwuf) dan ilmu yang lain. Keragaman madzhab ini menunjukkan ada nya kemajemukan berfikir di kalangan ulama' dan pemikir di zaman klasik Islam.

Cara penggalian ilmu dari al Quran dan Sunnah yang dilakukan mereka dengan kritisisme nya, menjadi sebuah keniscayaan dari proklamasi dari Al Quran itu sendiri, sebagaimana yang di firmankan oleh Allah, bahwa Al Quran adalah lautan ilmu yang tidak akan kering, walaupun air laut di jadikan tinta dan pepohonan di darat di jadikan pena untuk menuliskan ilmu dalam Al Quran.  Tindakan pembatasan untuk menggali ilmu dari sumber nya ini dan pelarangan mengkritisi produk pemikiran yang di hasilkan oleh para ulama dari masa lalu bisa jadi justru melawan firman Allah di atas, karena menghalang-halangi sebuah kegiatan pemikiran yang justru di anjurkan dalam Islam.

Karena sabda Nabi Muhammad SAW. juga sudah sangat jelas, bahwa setiap usaha "ijtihad", kalau benar mendapatkan pahala dua, dan kalau salah di ganjar dengan pahala satu.Tabsyir (bebungah / iming-iming) dari kanjeng Nabi ini jelas menunjukkan bahwa salah pun orang yang memanfaatkan akal dan ilmu nya demi suatu usaha dan kerja keras (ijtihad) akan di jamin berpahala, salah ataupun benar, yang beda hanya jumlah nya saja, kalau salah kita di jatah satu, tapi kalau benar di jatah dua bagian. Sungguh sebuah aturan yang sangat bijak, indah dan menarik, namun ketika ini di pandang sebelah mata, maka yang terjadi adalah pelarangan untuk berijtihad karena kita di anggap tidak cukup "pintar" dan "mumpuni" untuk berijtihad.

Melihat itu semua rasa nya kurang tepat bila kita terlalu mudah mengklaim sesat dan salah pada mereka yang justru hidup nya di jadikan sebagai sarana merumuskan kemaslahatan kontemporer bagi masyarakat dewasa ini, Karena bagi kami, sekali mereka Islam maka akan tetap Islam, bagaimanapun madzhab nya, pola pikir nya,dan cara beragama nya, apa lagi ini sudah jelas-jelas melakukan kegiatan yang baik,maslahat, dan berguna untuk kebaikan bersama. Jangan sampai kita mudah berburuk sangka (su'u dzan) sebelum bertanya dan mengklarifikasi terlebih dahulu. semoga...

Senin, 21 Maret 2011

Bapak ku Si Wisanggeni

Mikul dhuwor mendhem jero, demikian pepatah Jawa yang menginspirasi tulisanku ini. Tetembungan jawa itu berarti, sebagai wujud bakti kepada orang tua kita, maka kita sebagai putra nya harus bisa membuat bangga orang tua. Kamukten anak bisa menjadikan bangga orang tua, oleh sebab itu kita harus bisa menjaga nama baik nya sampai kapanpun sebagai komitmen untuk "Mikul dhuwor mendhem jero".

Saat memberikan sambutan pelepasan jenazah bapak saya, Kiai Miftah, seorang kiai kharismatik di Jepara menjuluki bapakku dengan sosok tokoh dalam pewayangan bernama Wisanggeni. Tokoh ini di kenal sebagai sosok yang betah ngelih, betah tirakat, dan gemar poso. Sebagai sosok yang sejak lahir memang sudah di tempa di Kawah condrodimuko, Wisanggeni kecil selalu hidup dalam keadaan tirakatan sehingga mampu menjadi sosok yang sakti mondro guno.

Dalam uraian nya Yi Miftah, menyebutkan bahwa Mbah Rusdi (bapak ku) itu pernah lama tidak makan, yaitu saat di rawat di rumah sakit di Kudus, karena sakit tenggorokan tidak bisa di lalui oleh makanan, lebih dari seminggu di rawat di rumah sakit Sunan Kudus, bapak ku betah menahan diri dari makanan, tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan setauku, saat setelah di nyatakan sembuh oleh dokter, Mbah Rusdi selama hidup nya samapi wafat, memang masih mengalami kondisi susah menelan makanan. Jadi semenjak tenggorokan nya sakit ini bapak ku dalam kondisi tidak dapat menelan makanan yang tidak lunak sampai beliau wafat.

Begitu juga saat harus di operasi karena sakit Tedun yang di alami nya, bapak ku juga tidak pernah mengeluh, bagi beliau semua itu adalah bagian dari cara Tuhan untuk ngresik'i dosa, agar saat waktu nya nanti, beliau sowan ke sisi Nya maka sudah bersih dan bisa husnul khotimah. Hanya itulah harapan beliau saat hari-hari terakhir nya menjelang wafat. Oleh sebab itu bapakku adalah sosok yang selalu menginspirasi hidup ku.

"Anak polah bopo kepradah", begitu semboyan ayahku, ketika harus merawat dan membesarkan anak-anak nya, apapun yang di lakukan anak, maka orang tua selalu harus ikut bertanggung jawab. Hal ini sangat aku rasakan saat aku harus menikah padahal saat itu aku hanya seorang remaja tanggung yang baru lulus Pesantren yang masih ikut khidmah dan ngenger di ndalem Mbah Nyai sepuh di Girikusumo. Tapi ketangguhan dan tanggung jawab ayahku sangat aku kagumi, dan saat itu beliau berkata: "Nikahke anak iku salah sijine kewajibane wong tuo". Betapa tegar bapak ku ini, pada hal saat itu beliau sudah sangat uzur, karena umur nya sudah mencapai yang ke 77 tahun, beliau lahir pada Tahun 1922 M.

Saat itu aku belum berpenghasilan sama sekali, tapi karena di dhawuhi untuk menikah oleh Mbah kiai Nazhif zuhri, maka orang tua ku bertekad, bukan hanya sekedar omong doang kalau dalam istilah Jakarta, untuk melaksanakan dhawuh kiai,untuk  menjalankan tugas dan kewajiban nya ini. sampai seluruh prosesi pernikahan tuntas, meskipun dalam suasana yang sederhana, Tapi aku sangat bangga menjadi salah satu santri yang bisa di nikahkan dan di berkati oleh Mbah Nazhif - Qoddasallahu sirrahu- di pendopo masjid Girikusumo.

Dan akhir nya aku selalu berdoa pada Allah swt. agar selalu membimbingku dalam tugas Mikul dhuwur mendhem jero. amin

Tuhan yang Maha Ramah

Islam sebagai sebuah ajaran bisa di maknai apa saja sesuai dengan kemauan kita, terkadang Islam berwajah penuh senyum, penuh ampun, penuh toleransi dan penuh kasih sayang, namun di sisi lain terkadang kita melihat Islam berwajah sangar, garang, seram, mengancam, dan menakutkan. Dua wajah Islam yang saling berlawanan ini sama-sama mengklaim bersumber dari dasar-dasar yang asasi yaitu Al qur'an dan Hadits Nabi. Hanya saja kecenderungan untuk menggunakan alat berinterpretasi terhadap Islam lah yang kemudian menampilkan dua wajah Islam yang berseberangan ini.

Dalam pandangan kita ketika melihat wajah Islam yang di tunjukkan oleh kalangan sufi, maka kita akan melihat penampilan yang serba ramah, serba senyum, serba santun dan serba tepo seliro mareng liyan, wajah Islam yang denikian ini sering kita temukan di beberapa pesantren yang ilmu keagamaan nya sangat mumpuni karena lembaga ini memang menjadi tempat tafaqquh fiddin yang paling tua di Nusantara. Tapi sikap beragama nya tidak serem dam medheni seperti penampilan Islam yang kita lihat di kota-kota besar yang hanya belajar Islam cuma sebentar, namun sikap nya sok Islam dan cenderung menganggap orang yang di luar kelompok nya di anggap kurang Islam.

Khutbah mereka juga selalu berisi ancaman-ancaman bagi orang-orang yang kurang taat dalam menjalankan agama nya, bagi mereka kesempurnaan berislam menjadi harga mati yang tidak bisa di tawar-tawar lagi, oleh karena itu justru kebanyakan dari kalangan awam takut untuk nimbrung kumpul dengan mereka karena takut akan ancaman dari Tuhan yang di wakili oleh mereka. Mereka merasa menjadi duta Tuhan untuk menghujat pelaku maksiat dan kemungkaran yang pantas di lempar ke neraka. Jadi seakan-akan Islam hanya berisi neraka dan ancaman bagi si abangan.

Di tahun 1978,seorang khatib melucu di masjid UI Rawamangun,Akibat nya jemaah yang tadi nya liyep-liyep jadi melek. Mereka menyimak pesan Jumat, sambil senyum.Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu, Ia di ganyang oleh khatib yang naik mimbar pada Jumat berikut nya. "Agama bukan barang lucu", sembur nya. "Dan tak perlu di bikin lelucon, mimbar jumat bukan arena humor,karena itu sengaja melucu dalam khotbah di larang"... (Kangsejo melihat Tuhan / M.Sobari hal.37).Vonis jatuh marah khatib kita ini.Akhir nya ada tambahan jenis larangan satu lagi.

Dalam salah satu buku nya Kang Sobari berkisah sebuah cerita sufi,tentang seorang gaek penyembah patung, ia menyembah tanpa pamrih, di usia ke 70 tahun ia punya kebutuhan penting,doa pun di ajukan, Sayang patung itu cuma diam, kakek kecewa, Ia minta pada Allah,dan ajaib:di kabulkan. Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul,sebab Allah lah,bukan dia,yang di protes Malaikat."Mengapa ya Allah,kau kabulkan doa si kakek, lupakah Kau dia penyembah patung? bukankah ia kafir yang nyata?". Allah tersenyum, "Betul" , jawab nya."Tapi kau bukan Aku, siapa yang akan mengabulkan doa nya, Kalau akupun diam, lalu apa beda nya Aku dengan patung".
Dan siang malam aku pun berharap agar humor seperti ini tak di larang. Ternyata Tuhan pun dalam zhan (sangkaan) orang sufi di gambarkan sebagai Dzat yang Maha ramah dan pemaaf. Oleh sebab itu seberapa mampu kita berbaik sangka kepada Tuhan, demikian juga Tuhan akan berbuat kepada kita. "Ana 'inda zhanni 'abdi bi" (Aku  -Tuhan- itu sebagaimana di sangkakan oleh hambaku pada Ku) , demikian Firman Allah dalam salah satu hadits qudsy.

Minggu, 20 Maret 2011